Sukarno atau biasa dikenal sebagai Bung Karno atau Bung Besar, lahir di Surabaya pada tanggal 6 Juni 1901. Ia lahir dari pasangan Soekemi Sosrodihardjo dan Nyoman Rai. Ia lahir tepatnya di Jalan Pasar Besar, yang kini berada di sekitar area Monumen Tugu Pahlawan Surabaya.
![]() |
Sukarno sebagai murid HBS, foto tahun 1916. |
Masa kecilnya dihabiskan secara “nomaden” karena ia hidup berpindah-pindah, mulai dari di Tulungagung, Mojokerto, hingga kembali ke kota kelahirannya, Surabaya. Mengenai masa kecilnya, terdapat beberapa versi terkait dengan perjalanannya tinggal di berbagai tempat yang pernah ia singgahi. Setelah lahir di Surabaya, menurut Lambert Giebels dan Peter Kasenda, Sukarno hidup di Tulungagung bersama kakek-neneknya dari pihak ayah. Barulah setelah itu ia hidup di Mojokerto, kembali bersama kedua orangtuanya dan juga bersama Sarinah, perempuan yang kelak ia jadikan judul buku karangannya.
Akan tetapi, menurut buku yang ditulis oleh Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, di dalam buku tersebut, Sukarno menceritakan bahwa ia hidup di Mojokerto ketika berusia enam tahun. Lalu, pada saat ia memasuki usia taman kanak-kanak, ia diminta oleh sang kakek dan nenek untuk hidup di Tulungagung. “Berikanlah anak itu kepadaku untuk sementara. Aku akan memeliharanya“, begitu kata nenek Sukarno seperti yang tertulis dalam buku karya Cindy Adams tersebut.
Sukarno kecil hidup dalam didikan keras ayahnya, Raden Soekemi. Suatu pagi, Sukarno kecil pernah memanjat pohon dan menjatuhkan sarang burung. Sontak, bapaknya memarahinya sekaligus memukul pantatnya dengan rotan. Tak hanya memarahinya, sang bapak juga mengajarkan konsep ketuhanan kepada Sukarno kecil, hal ini menunjukkan bahwa bapak sang Proklamator tersebut memiliki jiwa yang peduli akan konsep ketuhanan dan ciptaan-Nya.
“Ku kira aku sudah mengajarimu tentang agar menyayangi binatang?” keluarlah pertanyaan retoris itu dari mulut bapak sang Proklamator.
“Betul, Pak” kata Sukarno.
“Masih ingatkah kau arti kata-kata: ‘Tat Twan Asi, Tat Twan Asi’?”
Kalimat tersebut sebetulnya berarti, “Dia adalah aku dan aku adalah dia; engkau adalah aku dan aku adalah engkau”.
Sepintas memang tidak berhubungan dengan konsep ketuhanan, tetapi di sinilah menariknya seorang bapak dari anak yang kelak akan menjadi presiden pertama Republik Indonesia ini.
“Dan apakah tidak kuajarkan kepadamu bahwa ini memiliki arti khusus?”
“ Ya, Pak. Maksudnya, Tuhan berada di diri kita semua”.
Inti pesan dari kemarahan Soekemi terhadap Sukarno adalah bahwa ia ingin mengingatkan sang anak untuk melindungi ciptaan Tuhan. Sukarno, yang menjatuhkan sarang burung kala ia memanjat pohon, dianggap oleh sang bapak tidak melindungi makhluk ciptaan Tuhan, oleh karena itulah Soekemi memarahi Sukarno kecil. Didikan ayah Sukarno cukup keras, meskipun ia sudah meminta maaf kepada sang Bapak, Soekemi tetap memukul pantatnya dengan rotan.
Kisah menarik mengenai masa kecil sang Bung Besar tak hanya sampai di situ saja, menurut buku yang ditulis oleh Lambert Giebels, Sukarno menyebut dirinya sendiri sebagai seorang jago. Hal ini juga pernah ia utarakan di dalam buku yang ditulis oleh Cindy Adams, “Mereka menamakanku jago atau kampiun”. Memang, terdapat penggunaan diksi yang berbeda di kedua buku tersebut.
Terdapat pula “akibat” dari label Sukarno sebagai seorang jago. Dalam bukunya, Lambert Giebels mengutip kisah dari Hermen Kartowisastro yang berisikan kesaksiannya sebagai tetangga Sukarno. mereka pernah bermain gasing haktollen di halaman rumah Sukarno. Gasing yang berujung tajam ini dililit dengan tali yang harus dilempar dalam sebuah lingkaran yang, jika gasing tersebut berhenti di dalam lingkaran, pemain lain boleh mencoba untuk membelah dengan gasing tajam sehingga pemain yang gasingnya berhenti di dalam lingkaran dapat kehilangan gasing mereka. Suatu ketika, Hermen dapat membelah gasing Sukarno. Hal yang terjadi selanjutnya mencengangkan, Sukarno malah melempar gasing milik Hermen lalu membuangnya ke sungai. Hermen dan Sukarno pun berkelahi, karena Hermen lebih besar, ia dapat mengalahkan Sukarno dengan mudah. Setelahnya, Sukarno tidak menyapa Hermen berminggu-minggu. Sifat Sukarno yang tidak mau kalah (baca: gigih) ini kelak terbawa hingga ia menjadi seorang Presiden Republik Indonesia.
Uniknya, kisah mengenai gasing yang terlempar ke sungai ini pernah diceritakan oleh Sukarno dalam buku Cindy Adams, dalam buku tersebut ia mengisahkan bahwa Sukarno adalah seorang penakluk. “... Nasibku adalah untuk menaklukkan”, begitu katanya dalam buku garapan Cindy Adams. Lebih unik lagi, ia menyebutkan bahwa ketika ia bermain gasing, terdapat gasing yang berputar lebih cepat daripada miliknya. Sontak, ia pecahkan masalah tersebut dengan caranya sendiri, melemparkan gasing tersebut ke dalam sungai.
Sekilas, cerita dari dua buku yang berbeda itu tampaknya berkesesuaian satu dengan yang lain. Perbedaan dari dua kisah dalam dua buku berbeda tersebut adalah tidak disebutkannya kawan Sukarno yang gasingnya ia pecahkan. Menimbang-nimbang dari dua sumber tersebut, maka kisah tentang gasing yang dibuang ke sungai tersebut bisa dikatakan memang betul pernah terjadi.
Selain membuang gasing kawannya ke sungai, “kelakuan” lain dari Sukarno lain yang tak kalah menarik adalah ketika ia berumur 14 tahun, ia mencium gadis pertama dalam hidupnya, Rika Meelhuysen. Awalnya, Sukarno remaja merasa yakin bahwa sang bapak akan marah jika mengetahui rasanya terhadap gadis Belanda.
Nyatanya justru sebaliknya, di suatu petang, Sukarno sedang naik sepeda bersama Rika, ia kemudian menabrak seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah bapaknya sendiri. Alih-alih marah, sang bapak justru tenang. Setelahnya, Soekemi malah menganggap hal tersebut dapat memperbaiki bahasa Belanda Sukarno yang tidak terlalu mumpuni ketika sekolah. Hal tersebut seperti yang terucap oleh Kepala Sekolah tempat Sukarno bersekolah, Europeesche Lagere School (ELS), yang memberi tahu Soekemi, “Anak bapak sangat pintar, tetapi bahasa Belandanya belum cukup baik untuk kelas 6 Europeesche Lagere School. Kami terpaksa menempatkannya satu kelas lebih rendah”.
Begitulah kisah masa muda dari sang Proklamator, Penyambung Lidah Rakyat, kelak Presiden Republik Indonesia mengawali hidupnya. Sifatnya yang gigih sudah ia tunjukkan semenjak ia kecil, Hermen Kartowisastro dan sebuah Sungai tempat gasing itu bersemayam yang jadi saksinya. Kelak, kegigihannya tersebut ia salurkan dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
Daftar Pustaka
Giebels, Lambert. Soekarno, Biografi 1901-1950. 2001. Grasindo.
Adams, Cindy. Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. 2014. Yayasan Bung Karno.
Kasenda, Peter. Sukarno Muda, Biografi Pemikiran, 1926-1933. 2010. Komunitas Bambu.
Penulis: Pramadam Muhammad Anwar
Editor: Artaqi Bi Izza
Komentar
Posting Komentar