Sewajarnya, jika tidak ada perubahan iklim yang ekstrim, musim kemarau akan berakhir di bulan September dan pada bulan Oktober akan berganti musim ke musim penghujan. Indonesia terletak di Garis Khatulistiwa, yang berarti tepat berada di lintasan matahari. Suhu yang tinggi, menjadi perhatian khusus bagi masyarakat, karena perubahan iklim semakin memprihatinkan. Sebagai contoh, di Daerah Khusus Jakarta, suhu pada saat artikel ini ditulis (bulan Oktober 2024), menurut weather.com, menunjukkan angka 33 derajat celcius.
Pendaratan pasukan Inggris di Cilincing. Thorn, William, 1781-1843; Jeakes, Joseph, engraver; Egerton, Thomas, bookseller, publisher, CC0, via Wikimedia Commons. |
Dikutip dari CNN Indonesia (3/10/2024), BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) membeberkan alasan mengapa suhu di Jakarta meningkat. Kepala Meteorologi Publik, Andri Ramdhani berujar kepada media terkait, kalau alasan dari terik matahari yang meningkat diakibatkan oleh minimnya awan yang terbentuk, sehingga panas matahari tidak terhalangi, yang membuat cuaca menjadi terasa lebih terik.
Dalam laporan Koran Tempo edisi Rabu, 12 April 2023, salah satu dampak dari pemanasan global adalah naiknya permukaan air laut, salah satunya, di Jakarta. Dalam jurnal ilmiah berjudul “Spatio-temporal characteristics of urban heat Island of Jakarta metropolitan”, Siswanto, dkk., menggambarkan dalam sebuah grafik yang menunjukkan ternyata suhu di Batavia (sekarang Jakarta), cenderung mengalami peningkatan mulai dari tahun 1865 hingga 2005. Suhu tersebut bukannya tidak perlu untuk diperhatikan, karena teriknya matahari di Jakarta pernah meregang nyawa pada masa invasi Inggris ke Jawa pada tahun 1811.
Penyebab suhu di Batavia menjadi panas dapat dijelaskan oleh penelitian yang dilakukan oleh Siswanto. Menurut penelitian yang dilakukannya, yang berjudul “Extreme Precipitation in Urban Jakarta: Historical and future trends”, disebutkan bahwa terdapat hubungan antara pertumbuhan urbanisasi yang cepat terhadap kenaikan suhu di Jakarta. Dalam penelitiannya, temperatur di kota tersebut (Jakarta) telah meningkat secara paralel dengan cepatnya pertumbuhan urbanisasi dan juga pemanasan global. Pernyataan di atas juga diperkuat dengan adanya grafik yang menunjukkan pertumbuhan penduduk di Batavia mulai dari tahun 1673 hingga. Di grafik yang lain juga disebutkan bahwa suhu udara di Jakarta juga menunjukkan tren peningkatan dari tahun 1865 hingga 2005.
Penyebab yang sudah disebutkan oleh Siswanto tersebut, yang menyebabkan panas, ternyata juga dirasakan oleh masyarakat Batavia era lampau. Mereka harus menurunkan tirai untuk mencegah panas masuk. Masyarakat Batavia kala itu juga menerapkan apa yang disebut Bernard Hubertus Maria Vlekke, dalam bukunya Nusantara: Sejarah Indonesia, sebagai “Homo Bataviensis” yang mana mereka sengaja menurunkan tirai untuk mencegah panas masuk. Selanjutnya Herman Willem Daendels, mencoba menginisiasi pembangunan hunian ala Eropa yang sudah disesuaikan dengan iklim tropis, yang akan dilanjutkan oleh penerusnya. Gaya arsitektur tersebut terkenal dengan istilah “Indische Empire”.
Jan Willem Janssens adalah Gubernur-Jenderal Hindia Belanda selepas Herman Willem Daendels, pada masa kepemerintahannya, Hindia Belanda terlepas dari tangan Belanda dan jatuh ke tangan Inggris melalui serangkaian pertempuran.
Teriknya matahari Batavia (Jakarta) pernah memakan korban pada tahun 1811, ketika Inggris menginvasi Jawa, buntut dari Perang Napoleon yang terjadi pada saat itu. Awalnya, tentara Inggris mendarat di Cilincing, yang pada masa itu masih sebuah desa, menurut catatan William Thorn, salah seorang serdadu Inggris yang membuat sebuah memoar berjudul, Memoirs of the Conquest of Java; with the Subsequent Operations of British Forces in the Oriental Archipelago, yang diterbitkan pada tahun 1815.
Dalam catatan yang sama, serdadu Inggris mulai mendarat di Batavia pada tanggal 4 Agustus 1811. Setelah melakukan beberapa manuver, para tentara Inggris kemudian mulai bergerak menuju Meester Cornelis (Jatinegara). Sekitar 6 mil dari Cornelis, terjadi peristiwa yang cukup mengejutkan bagi serdadu Inggris. Menurut catatan William Thorn, “Panasnya udara sangat hebat sehingga beberapa anggota pasukan kepayahan terkena sengatan matahari (Coups-de-Soleil), yang membuat beberapa orang meninggal seketika itu juga, sementara yang lainnya masih bertahan hidup sampai malam harinya, dan baru meninggal saat kami kembali.”
Hal tersebut mengindikasikan bahwa cuaca yang panas di Batavia (sekarang Jakarta) bukanlah masalah yang baru terjadi. Bahkan, pada abad ke-19 pun, teriknya Batavia pernah meregang nyawa beberapa serdadu Inggris. Mengenai teriknya Batavia, pernah terekam juga dalam surat kabar De Indische Courant pada 20 Februari 1936. Di dalam surat kabar tersebut, dijelaskan mengenai suhu Batavia pada kemarin sore (19 Februari 1936) yang amat memprihatinkan. Angka suhu menunjukkan 33,2 derajat celcius, suhu tertinggi di Batavia pada bulan Februari. Sebelumnya, suhu pernah mencapai rekor di bulan yang sama pada tahun 1906, 32,9 derajat celcius.
Sekarang, masyarakat Jakarta (Batavia) sudah tidak perlu menurunkan tirai dan/atau membangun gaya rumah, bangunan, gedung, dan segala bentuk bangunan lain dengan gaya yang diinisiasi oleh Herman Willem Daendels, gaya Indische Empire, untuk mengatasi panas. Berkebalikan dengan masyarakat Batavia era lampau yang harus menurunkan tirai untuk menghalau panas, dewasa ini, masyarakat Jakarta hanya perlu memanfaatkan teknologi untuk menghalau panas, entah itu pendingin ruangan atau kipas angin.
Mungkin juga, masyarakat dapat mendorong pemangku kebijakan untuk segera menuntaskan masalah suhu udara yang panas di perkotaan di Indonesia, khususnya di Jakarta, dengan menginisiasi program yang bersifat dapat menangkal panasnya matahari perkotaan, mungkin dengan langkah sesederhana menyediakan atap payung di trotoar.
Rujukan
Vlekke, B.H.M. (2008). Nusantara : Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.
Siswanto, Siswanto & Nuryanto, Danang & Ferdiansyah, Muhammad & Prastiwi, Agita & Dewi, Ova & Gamal, Ahmad & Dimyati, Muhammad. (2023). Spatio-temporal characteristics of urban heat Island of Jakarta metropolitan. Remote Sensing Applications: Society and Environment. 32. 101062.10.1016/j.rsase.2023.101062.
Siswanto, S. (2023). Extreme precipitation in urban Jakarta: historical and future trends. PhD-Thesis - Research and graduation internal, Vrije Universiteit Amsterdam.
Handinoto, Handinoto. (2009). Daendels dan Perkembangan Arsitektur di Hindia Belanda Abad 19. Dimensi: Journal of Architecture and Built Environment. 36.
Komentar
Posting Komentar