Langsung ke konten utama

Dinamika Ludruk: Dari Bersinggungan dengan Agama Hingga Pemerintah Kolonial

 


Ludruk adalah kesenian khas Jawa Timur yang hingga kini masih dipentaskan.  Ludruk merupakan kesenian yang sudah ada, bahkan sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya pada tahun 1945. Salah satu tokoh Ludruk yang terkenal adalah Gondo Durasim atau yang biasa dikenal sebagai Cak Durasim. Namanya kini diabadikan sebagai nama gedung di Surabaya, Gedung Cak Durasim yang terletak di Jalan Genteng, Nomor 85, Kecamatan Genteng, Surabaya, Jawa Timur. Cak Durasim adalah seorang yang memimpin Ludruk Organisatie, sebuah wadah atau kelompok Ludruk yang ada di Surabaya, yang dipimpin oleh Cak Durasim. Kelompok Ludruk yang dipimpin oleh Durasim tersebut, bukanlah kelompok Ludruk yang eksis pertama kali dalam perteateran seni di Jawa Timur era Kolonial Hindia Belanda.


Berdasarkan hasil Musyawarah Ludruk Se-Jawa Timur yang diselenggarakan di Surabaya pada tanggal 21-28 Juni 1968, diputuskan bahwa Pak Santik merupakan pionir kesenian Ludruk di Jawa Timur. Pak Santik sendiri diyakini merintis Ludruk pada sekitar tahun 1907 dengan menggandeng dua temannya, Pak Amir dan Pak Pono. Ludruk yang kemudian menjadi ikon dari salah satu budaya yang ada di Jawa Timur, menurut pendapat yang paling populer, yaitu hasil Musyawarah Ludruk Se-Jawa Timur, berasal dari kesenian Lerok.


Sebuah pertunjukan Ludruk di Jawa Timur pada tahun 2018.

Awalnya, Ludruk yang berasal dari daerah Jombang, dipentaskan dengan cara mengamen dan diiringi dengan alunan alat musik yang bertujuan untuk menghibur penonton. Awalnya, kedua rekan Pak Santik, Pak Amir dan Pak Pono, berturut-turut berperan sebagai perempuan dan Badut. Tokoh perempuan yang diperankan oleh Laki-laki, disebut sebagai teledhek. Biasanya, dalam pentas Ludruk, terdapat tiga peran, Badut, yaitu penari, Teledhek, penari laki-laki yang berperan sebagai perempuan, dan juga Pak Haji, yang memerankan tokoh muslim. Peran terakhir akan menjadi pembahasan utama dalam artikel ini, meskipun tokoh dalam Ludruk juga terdapat peran kolonial yang biasanya muncul dalam drama yang bertemakan nasionalisme. 


Pak Santik merupakan seorang petani di Jombang yang juga bekerja sampingan sebagai pemain Ludruk, untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Pada mulanya, kelompok Ludruk yang diprakarsai oleh Pak Santik dikenal sebagai kelompok ngamen karena atribut yang kelompok tersebut kenakan layaknya sekelompok pengamen ditambah lagi dengan alat musik yang mengiringi mereka saat pentas. 


Ludruk yang dikenal pada era Pak Santik disebut dengan “Lerok”, yang kemudian berkembang ke daerah lain, seperti Malang, Surabaya, dan Mojokerto. Awalnya, Ludruk merupakan suatu kesenian yang ditanggap. Biasanya, mereka mengisi acara seperti Khitanan, Pernikahan, maupun Ngrawut. Dalam pentas mereka, biasanya terdapat unsur-unsur magis di dalamnya. 


Unsur-unsur magis tersebut kemudian tidak “dipakai” lagi oleh Ludruk Organisatie (LO) yang dinahkodai oleh Cak Gondo Durasim. Dalam pendirian LO sendiri, Cak Durasim bekerja sama dengan dr. Soetomo dan para priyayi baru yang tergabung dalam Persatoean Bangsa Indonesia (PBI). Berkat kerjasamanya dengan dr. Soetomo, LO kemudian dapat berkembang menjadi pementasan Ludruk yang lebih mapan, dalam artian mereka kini tidak hanya pentas di kampung-kampung, tetapi juga di Gedung Nasional Indonesia, Surabaya. 


Selain teori Pak Santik, L. Poerbokoesoemo, dalam  Ludruk dari Segi Sedjarah serta Perkembangannja, menyebutkan jika Ludruk sudah ada sejak zaman Majapahit, yaitu Ludruk Bandan dan Ludruk Lyrok pada abad ke-13. 


James L. Peacock berpendapat lain, ia mengatakan jika saksi mata pertama yang menonton pertunjukkan yang disebut Ludruk itu, berasal pada tahun 1822. Pertunjukan tersebut dibintangi oleh dua orang, yaitu seorang pemain dagelan, yang bercerita tentang cerita lucu dan seorang waria.


Pada perkembangannya, Ludruk kemudian bersinggungan dengan para priyayi baru yang secara tidak langsung membantu Ludruk dalam pentasnya di Gedung Nasional Indonesia.  LO juga kemudian memasukkan unsur nasionalisme dengan seiring perkembangan pergerakan nasionalisme di Hindia Belanda, (Zaman Pergerakan).


Ludruk Organisatie sendiri didirikan pada tahun 1930-an, Ludruk yang mereka pentaskan sudah terpengaruh dengan budaya priyayi Surabaya, yaitu dr. Soetomo dan kelompoknya.  Cak Durasim sendiri pernah berperan sebagai Badut, ia memang pandai melawak, sehingga tak mengagetkan jika ia berperan demikian. 


Ludruk, selain digunakan dalam acara khitanan, pernikahan, dan ngrawut, juga pernah dipentaskan dalam perayaan Hari Ratu Wilhelmina pada tahun 1930 di Lawang. Dalam laporan Soerabaiasch Handelsblad edisi 09-04-1930, disebutkan jika pada malam hari perayaan Hari Ratu Wilhelmina, terdapat pentas Ludruk yang mengundang perhatian orang banyak. 


Tak hanya di Lawang, Ludruk juga sempat dipentaskan di Semarang, senyampang dengan laporan De Locomotief edisi 11-07-1930, disebutkan jika di Alun-Alun terdapat berbagai macam hiburan, seperti draaimolen, ketoprak, dan Ludruk. Hal ini menarik karena tidak biasanya Ludruk dipentaskan di Jawa Tengah, yang notabene mementaskan Ketoprak, suatu pentas seni yang mengedepankan bahasa Jawa yang lebih halus dibandingkan Ludruk.


Berbicara mengenai peran Ludruk, menurut James L. Peacock dalam tulisannya yang berjudul, Anti-Dutch, Anti-Muslim Drama among Surabaja Proletarians: A Description of Performances and Responses, disebutkan jika, selain bersinggungan dengan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, Ludruk juga bersinggungan dengan Agama, tepatnya Islam. 


James L. Peacock, mengamati empat pertunjukan Ludruk yang dipentaskan di Surabaya, tepatnya di PBRI di Jalan Rajawali dan Taman Hiburan Rakyat (THR) pada tahun 1963. Dua dari empat pentas tersebut, mengindikasikan adanya persinggungan Ludruk dengan Islam, sedangkan keempat-empatnya, bersinggungan dengan pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. 


Singgungan dengan pemerintah Kolonial juga terjadi dalam pentas Ludruk. Tokoh utama, seperti Untung Surapati, Sarip Tambakjasa, Pak Sakera, dan Sawunggaling, semuanya diceritakan “melawan” pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Mulai dari membunuh polisi hingga kabur dari penjara.


Contoh dari indikasi singgungan dengan Islam adalah adanya sindiran terhadap kaum santri yang disebutkan dalam Ludruk yang ada dalam pengamatan Peacock, bahwa santri dianggap pelit karena tidak mau membayar pajak, dalam perannya di Ludruk, hal ini juga tidak bisa dilepaskan dari interpretasi Peacock itu sendiri. 


Tak hanya pelit karena tidak mau membayar pajak, kaum haji, atau santri secara umum, dalam Ludruk yang diamati oleh Peacock digambarkan sebagai seorang yang tidak mampu menjaga dirinya sendiri, seperti dalam pertunjukan yang menampilkan seorang haji ternyata dapat mengkhianati prinsip agamanya sendiri untuk tidak “bertandak” atau menari dengan yang bukan mahromnya. 


Selain tidak memegang teguh prinsipnya, pelit (enggan membayar pajak), kaum santri dalam Ludruk yang diamati oleh Peacock, juga digambarkan sebagai seseorang yang pelit dalam meminjamkan uang. Hal ini terlihat ketika lakon Sarip Tambakjasa ingin meminjam uang kepada lakon haji. Sang lakon haji kemudian menolak permintaan utang tersebut. 


Hal ini juga senada dengan apa yang ditulis James L. Peacock dalam bukunya Ritus Modernisasi, yang mana ia menyatakan bahwa para partisipan Ludruk, mulai dari aktor sampai penontonnya, merupakan masyarakat kelas bawah yang abangan. Abangan adalah sekelompok orang Islam yang tidak menjalankan syariat Islam dengan sungguh-sungguh. Mengenai kelas para penonton Ludruk, menurut Peacock dapat dilihat dari pakaian mereka yang menonton pertunjukkan asli Jawa Timur tersebut.


Banyak dari partisipan Ludruk yang abangan, karena kaum santri tentunya tidak menganggap Ludruk adalah sesuatu yang halal. Beberapa kaum santri cenderung melabeli Ludruk sebagai pertunjukan yang haram. Pelabelan tersebut bisa terjadi akibat dari isi ludruk yang menggambarkan laki-laki yang memerankan wanita, alias dalam perannya dalam pentas Ludruk, secara tidak langsung, laki-laki tersebut menjadi seorang waria, sesuatu yang dilarang keras dalam tradisi kaum santri (baca: Syariat Islam). 


Menurut pandangan Peacock, ia secara pribadi tak pernah menjumpai seorang penonton Ludruk yang mana kegiatannya secara bersamaan menonton Ludruk sekaligus sembahyang ke masjid. Baginya, aktivitas menonton ludruk sekaligus pergi ke masjid adalah sesuatu yang bertolak belakang. Terdapat juga kritik yang Peacock pernah dengar dari seorang santri yang mengatakan jika Ludruk bersifat bermain-main, sedangkan Islam bersifat sungguh-sungguh.


Terdapat argumen menarik dari Peacock yang mengatakan bahwa terdapat kecenderungan Marxis dari isi cerita Ludruk yang disebabkan oleh fakta bahwa para pemain Ludruk kurang-lebih terlibat dalam organisasi-organisasi komunis, bahkan beberapa rombongan Ludruk pernah berafiliasi dengan organisasi-organisasi komunis.  Begitulah bagaimana Ludruk pernah bersinggungan dengan Agama dan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Akan tetapi, sesuatu hal yang perlu diperhatikan adalah, kita tidak bisa mengambil satu sampel dan menerapkannya terhadap semua hal. Artikel ini berusaha untuk menghindari kesalahan Holisme yang disebutkan oleh Kuntowijoyo dalam bukunya, Pengantar Illmu Sejarah.


Memang, Ludruk dalam dinamika sejarahnya pernah meledek Islam dan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, tetapi, hal tersebut tidak serta-merta berlaku secara keseluruhan hingga sampai saat ini. Mungkin saja Ludruk sudah berubah bentuk sedemikian rupa sehingga sudah tidak mencakup apa yang disebutkan oleh Peacock di atas. Sebagai budaya asli Jawa Timur, Ludruk sudah sepatutnya dilestarikan. 


Hal yang serupa dengan pendapat Peacock juga diamini secara sebagian oleh Kiai yang ada di Kecamatan Giligenting, Kabupaten Sumenep. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Zubairi dan Abdul Wahid, ditemukan alasan mengapa para kiai menolak ludruk, yaitu karena adanya laki-laki yang berperan sebagai perempuan. 


Akan tetapi, terdapat pula kiai yang membolehkan dengan alasan, pemeran laki-laki lebih meminimalisasi risiko dibandingkan pemeran perempuan. Mengenai “risiko” yang dimaksud, peneliti tidak menyebutkan secara jelas apa yang dianggap sebagai risiko.


Berkenaan dengan pandangan kiai yang membolehkan Ludruk, juga tidak dapat digeneralisasi terhadap semua pendapat terkait Ludruk, demi menghindari kesalahan holisme, bahwa semua kiai berpendapat demikian.


Terkait dengan pandangan Peacock, penulis sendiri menyangsikan pandangan yang bersangkutan, yang menggeneralisasi pandangan bahwa Ludruk selalu berhadap-hadapan dengan Islam, dapat diterapkan di era modern ini. Perbedaan budaya dan situasi politik, sekarang tentunya sudah tidak ada pengaruh Partai Komunis Indonesia, sudah barangtentu berbeda dengan kondisi ketika Peacock mengamati Ludruk di tahun 1963.


Meskipun demikian, pandangan Peacock setidaknya tidak dapat dijadikan pijakan untuk memandang Ludruk dari pra-Gestapu hingga sekarang, tetapi pandangan Peacock sendiri diamini oleh M.C. Ricklefs dalam karyanya yang berjudul Islamisation and Its Opponents in Java: A Political, Social, Cultural, and Religious History, c. 1930 to Present, disebutkan jika pada era saat persaingan Masyumi dengan PKI begitu terasa, kethoprak, yang dipentaskan di dekat Gunung Merbabu, para kiai dan haji dihina dalam pentas tersebut. Menurut Ricklefs, hal yang mirip juga terjadi pada pentas seni yang beken di Surabaya, Ludruk. Menurutnya, pentas Ludruk menarik perhatian para kaum proletar yang pro-PKI. Bahkan dalam karya Ricklefs, disebutkan jika pada tahun 1961, Lekra, mengklaim bahwa banyak Ludruk yang terafiliasi dengan mereka. 


Mengenai Ludruk pasca-Gestapu sendiri, memang sempat meredup karena Ludruk dianggap dekat dengan Lekra,  salah satu underbow Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1980-an, Ludruk sempat “dihidupkan” kembali, situasi tersebut ditandai dengan munculnya berbagai kelompok ludruk yang menyebar ke berbagai wilayah Jawa Timur. Akan tetapi, pada era Orde Baru, Ludruk sudah tidak seperti di zaman keemasannya lagi. Pernah pada era Orde Baru, Ludruk disisipi dengan agenda pemerintah, sehingga pementasannya tidak lagi menjadi natural, monoton, hingga membosankan.


Melihat adanya hal tersebut, Kartolo dan kawan-kawan yang kala itu masih bergabung dengan Trisno Enggal, sebuah kelompok Ludruk, berupaya “mereformasi” ludruk dengan berbagai cara. Kartolo dkk. menempuh bermacam-macam cara, mulai dari mengubah Ludruk menjadi lebih segar, baru, menghibur, dan bahkan ia dapat dibilang “merevolusi” Ludruk dengan menghilangkan tari remo di pembukaan pentas dan juga menghilangkan bedayan.


Mengenai dinamika Ludruk sendiri, terdapat sebuah “sempalan” yang menarik terkait ini. Adalah Cak Markeso atau Cak So, seorang pemain ludruk tunggal, atau biasa disebut Ludruk Garingan. Selain Kartolo dkk., yang mereformasi Ludruk, ternyata pada tahun 1949, ia mengubah cara pentas Ludruk yang pada awalnya bermain secara berkelompok, menjadi pentas tunggal. Jika kita mengulas sejarah dinamika Ludruk, maka kita harus menyematkan nama Cak So dan Cak Kartolo sebagai reformis Ludruk, mengingat peran mereka yang vital dalam sejarah Ludruk.


Daftar Pustaka

Azali, Kathleen. Ludruk: Masihkah Ritus Modernisasi. Jurnal Lakon, 2012, 1.1.

Jalal, M. (2022). Periodisasi Perubahan Potret Perjalanan Seni Tradisional Ludruk. Biokultur, 11(2).

Peacock, J.L. (1967). Anti-Dutch, Anti-Muslim Drama among Surabaja Proletarians: A Description of Performances and Responses. Indonesia, 4, hlm.43.

Peacock, J.L. (1968).  Rites of Modernization, Symbolic and Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama. University of Chicago.

Ricklefs, M. C. (2012). “The first freedom experiment: Aliran politics and Communist opposition to Islamisation, 1950–66”. Dalam buku Islamisation and Its Opponents in Java: A Political, Social, Cultural and Religious History, c. 1930 to Present (hlm. 80–115). NUS Press.

Zuhriyyah, M. (2018). Kelompok Ludruk Cak Durasim (Ludruk Organisatie) di Surabaya Tahun 1933-1945. Kaganga: Jurnal Pendidikan Sejarah dan Riset Sosial Humaniora, 1(2), 93-106.

Zubairi, A., & Wahid, A. (2024). Tanggapan Kiai dalam Menyikapi Pementasan Kesenian Ludruk di Wilayah Giligenting. Tafhim Al-'Ilmi, 15(02), 264-280.

De Locomotief, edisi 11-07-1930.

Soerabaiasch Handelsblad, edisi 09-04-1930.

Berita Yudha, edisi 1983-02-13.


Penulis: Pramadam Muhammad Anwar

Editor: Artaqi Bi Izza A.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ultimatum Inggris dan Meletusnya Pertempuran 10 November

Pertempuran Surabaya merupakan pertempuran antara pasukan pejuang Indonesia dengan pasukan Kemaharajaan Inggris yang mendarat di kota Surabaya. Puncaknya terjadi pada tanggal 10 November 1945. Pertempuran pecah pada 30 Oktober setelah komandan pasukan Inggris, Brigadir Aubertin Walter Sothern Mallaby tewas dalam baku tembak. Pengungsi Tionghoa mencari perlindungan selama Pertempuran Surabaya Kematian sang brigadier terdengar ke Panglima Tertinggi Sekutu Komando Asia Tenggara, Laksamana Louis Mountbatten sehingga ia mengirimkan Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh. Mansergh menggantikan posisi Mallaby yang tewas dalam baku tembak di sekitar Gedung Internatio, dekat Jembatan Merah, pada 30 Oktober 1945 menjelang malam. Sesaat Mayor Jenderal Mansergh tiba di kota Surabaya untuk memimpin tentara Inggris yang berada di kota tersebut, sang jenderal mengirimkan ultimatum yang diperintah oleh Laksamana Mountbatten kepada Rakyat Surabaya.   Ultimatum ini dibacakan oleh Jenderal Manser...

Saat Suhu Panas di Batavia Meregang Nyawa Serdadu Inggris.

  Sewajarnya, jika tidak ada perubahan iklim yang ekstrim, musim kemarau akan berakhir di bulan September dan pada bulan Oktober akan berganti musim ke musim penghujan. Indonesia terletak di Garis Khatulistiwa, yang berarti tepat berada di lintasan matahari. Suhu yang tinggi, menjadi perhatian khusus bagi masyarakat, karena perubahan iklim semakin memprihatinkan. Sebagai contoh, di Daerah Khusus Jakarta, suhu pada saat artikel ini ditulis (bulan Oktober 2024), menurut weather.com , menunjukkan angka 33 derajat celcius.  Pendaratan pasukan Inggris di Cilincing. Thorn, William, 1781-1843; Jeakes, Joseph, engraver; Egerton, Thomas, bookseller, publisher, CC0, via Wikimedia Commons. Dikutip dari CNN Indonesia (3/10/2024), BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) membeberkan alasan mengapa suhu di Jakarta meningkat. Kepala Meteorologi Publik, Andri Ramdhani berujar kepada media terkait, kalau alasan dari terik matahari yang meningkat diakibatkan oleh minimnya awan y...

Tragedi Hotel Yamato

Tanggal 18 September 1945, pasukan Sekutu yang tergabung dalam Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) yang berada dibawah kendali AFNEI tiba di Surabaya. Satuan ini memiliki tugas untuk mengurus tawanan Belanda sekaligus melucuti sisa-sisa tentara Jepang. Mereka menjadikan hotel Yamato sebagai markas bantuan rehabilitasi untuk tawanan perang dan Interniran. Hotel Yamato (Sekarang Hotel Majapahit) dan Teks Peringatan Peristiwa 19 September (Wikimedia Commons). Tanggal 19 September 1945, tepatnya pada pukul 21:00, sekelompok orang dari pihak Belanda dibawah komando W.V.C Ploegman, diperintahkan untuk mengibarkan bendera Belanda di atas hotel Yamato tanpa seiizin pemerintah Surabaya. Keesokan harinya, para warga yang melintas di depan hotel Yamato dibuat terkejut dan marah karena Belanda telah melecehkan harga diri Indonesia. Massa yang kesal pun mendatangi hotel Yamato untuk memprotes tindakan Belanda. Residen Soedirman yang dikawal oleh Sidik dan Haryono, kemud...