Baru-baru ini masyarakat digemparkan dengan pemberitaan terkait seorang yang kerap disebut sebagai Gus, yaitu Miftah Maulana, yang dianggap menghina seorang penjual es teh asongan di salah satu pengajiannya. Awalnya terdapat seorang penjual es teh asongan yang berada di pengajiannya, kemudian para jamaah-nya, meminta Miftah untuk memborong dagangan pedagang es teh tersebut, tetapi alih-alih memborong, Miftah justru memaki pedagang es teh tersebut. Miftah menyebut pedagang es teh tersebut, “Goblok”, karena menurutnya es teh yang dijual oleh sang pedagang tersebut masih banyak dan ketimbang diborong oleh Miftah, ia malah menyuruh pedagang tersebut untuk menjualnya karena es teh tersebut masih banyak, ditambah lagi umpatan kasar terhadap pedagang es teh bernama Sunhaji tersebut.
Kini, pada saat artikel ini ditulis, 6 Desember 2024, Miftah Maulana, yang juga seorang Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan.(Utsus), secara sukarela mengundurkan diri dari jabatannya tersebut. Dikutip dari Jawa Pos, Miftah Maulana yang juga pengurus Pesantren Ora Aji mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Utusan Khusus Presiden di pesantren yang ia urus yang terletak di Sleman, Yogyakarta. Miftah atau yang biasa dikenal oleh masyarakat sebagai Gus, sudah sepatutnya berperilaku sesuai dengan “label” yang disematkan kepadanya. Gus sendiri merupakan sebuah panggilan atau gelar yang disematkan terhadap orang yang berada dalam lingkup pesantren.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Millatuz Zakiyah, disebutkan jika sebutan “Gus”, bersanding dengan sebutan lainnya yang kerap ada di pesantren. Seperti, Kyai, Nyai, Ning, Kang, dan Cak. Khumaidi dalam Zakiyah menyebutkan jika Kyai atau Nyai disematkan untuk pemilik pesantren, sedangkan Gus atau Ning, adalah sebutan untuk putra-putri mereka. Singkatnya, Gus adalah panggilan bagi anak Kyai atau Nyai. Berbeda dengan panggilan sesama santri yang biasanya saling memanggil Mbak, Kang, atau Cak. Gus atau Ning memiliki kedudukan tersendiri dalam pesantren. Kedua panggilan tersebut dianggap “sakral”, karena ketika seorang santri memanggil seseorang yang seharusnya dipanggil Gus atau Ning, tetapi justru santri tersebut memanggilnya Cak, Kang, atau Mbak, maka bukan tidak mungkin Santri tersebut akan ditegur oleh santri lainnya.
Dengan adanya polemik seperti yang baru saja terjadi ini, maka masyarakat harus dapat memilah mana Gus yang sesuai dengan agama dengan mana Gus yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Tanpa pedoman tersebut, maka bukan tidak mungkin masyarakat akan terjerumus dalam penamaan Gus yang tidak tepat. Sejatinya, sebutan Gus hanyalah sebuah bentuk penghormatan di lingkungan pesantren, yaitu penghormatan terhadap anak-anak Kyai dan Nyai. Hal tersebut berarti, munculnya sebutan Gus, tidak dapat dilepaskan dari peran orangtuanya yang “menjabat” sebagai pemimpin pesantren.
Hal tersebut berkonsekuensi besar jika seorang yang disebut Gus ternyata tidak memiliki darah keturunan seorang pemimpin pesantren atau kyai. Hilangnya hal tersebut dapat pula memengaruhi legitimasi gelar “Gus” yang ia miliki. Hendaknya masyarakat tanah air sudah harus belajar dari kasus yang terjadi baru-baru ini, sehingga kasus serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang. Selain belajar dari kesalahan, masyarakat juga harus bersikap skeptis dan kritis untuk menelusuri legitimasi seseorang yang mengaku sebagai “Gus”.
Rujukan
Zakiyah, M. (2018). Makna sapaan di pesantren: Kajian linguistik-antropologis. LEKSEMA: Jurnal Bahasa dan Sastra, 3(1), 11-22.
Penulis: Pramadam Muhammad Anwar
Editor: Artaqi Bi Izza A.
Komentar
Posting Komentar