“Mari kita rakyat Singapura
Sama-sama menuju bahagia
Cita-cita kita yang muliaBerjaya Singapura…”
Potongan lagu diatas merupakan lagu kebangsaan Singapura berjudul “Majulah Singapura”. Republik Singapura baru berdiri pada 9 Agustus 1965 ketika Malaysia mendepaknya dari federasi, akan tetapi “Majulah Singapura” telah bergema hampir satu dekade sebelumnya. Lagu ini menjadi subjek penelitian yang menarik bagi kalangan peneliti lantaran keunikannya, seperi liriknya yang menggunakan bahasa Melayu, akan tetapi mayoritas dari pelantunnya tidak paham maksud dari liriknya lantaran tidak berbahasa Melayu (Lim, 2018: 9).
Pada tahun 1950an, Singapura berada ke jalur menuju kemerdekaan. Kejatuhan imperium Jepang di Asia tenggara membawa semangat nasionalisme bagi masyarakat lokal di regional tersebut, terlebih kekalahan Inggris pada tahun 1942 memberikan pandangan baru bahwa bangsa Eropa dapat dikalahkan oleh bangsa Asia. Kembalinya Inggris memang membawa kebahagiaan di kalangan masyarakat Singapura, namun pandangan mereka terhadap mantan penjajahnya ini telah berubah (LePore, dkk, 1991: 41).
![]() |
Zubir Said, komposer "Majulah Singapura", lagu kebangsaan Republik Singapura. |
Di sisi lain, pemerintah kolonial yang berdiri kembali juga tidak dapat berbuat banyak. Mereka telah dilanda perang dunia, membangun kembali negaranya menjadi prioritas dan mengurus masalah kolonial menjadi beban yang sangat besar. Kantor urusan kolonial telah merumuskan pembentukan Malaya Union (Persekutuan Tanah Melayu) yang terdiri dari kerajaan-kerajaan Melayu, tanpa memasukkan Singapura di dalamnya. Singapura kemudian dijadikan sebagai Crown Colony yang terpisah dengan Semenanjung Malaya pada tahun 1946. Selain itu, mereka juga membuat dewan penasihat yang terdiri dari berbagai unsur masyarakat lokal. Di kemudian hari pemerintahan kolonial ini mulai diisi oleh masyarakat lokal, mereka menempati berbagai jabatan meski masih dibawah gubernur jenderal. Secara bertahap masyarakat lokal mulai berperan besar dalam pemerintahan dan Inggris mulai memberikan kebebasan kepada rakyat Singapore dalam menjalankan negaranya. Pada perkembangan selanjutnya, Inggris memberikan izin pemerintahan mandiri bagi Singapura pada tahun 1957 sebelum akhirnya merdeka penuh pada 1959.
Kisah Majulah Singapura dimulai pada masa-masa peralihan kekuasaan tersebut. Pada tahun 1958, Wali kota Singapura, Ong Eng Guan mendekati seorang pengarang lagu kelahiran Bukittinggi bernama Zubir Said. Sang pengarang tersebut namanya telah dikenal di Singapura, bahkan hingga ke Malaysia. Setidaknya ia telah menuliskan setidaknya 1.500 lagu untuk beberapa musisi terkenal, seperti P Ramlee (Santosa, 2020). Ong mendekati Encik Zubir dan memintanya membuat lagu pemerintah kota Singapura dalam rangka memperingati renovasi Theater Victoria. Berdasarkan kesaksian Encik Zubir ketika diwawancara oleh pihak arsip nasional Singapura, dalam pembuatan lagu tersebut cukup lama lantaran harus bisa dimengerti oleh berbagai lapisan masyarakat yang terdiri dari tiga suku besar: Melayu, Cina, dan Tamil (National Heritage Board of Singapore, 2024). Versi pertama lagu ini dinyanyikan secara umum pada 3 Desember 1959. Kemudian menjelang pembentukan negara Singapura, Dr. Toh Chin Chye tertarik dengan lagu karangan Encik Zubir ini sehingga memintanya untuk merevisi sedikit karyanya tersebut agar beberapa kalimatnya lebih singkat. Ia juga meminta agar lagu tersebut tetap menggunakan bahasa melayu lantaran merupakan bahasa bumiputera agar tetap mengingatkan para masyarakat Singapura tempat lahir mereka merupakan tanah Melayu. Hal ini juga diperkuat seiring dengan masuknya Singapura ke Federasi Malaysia pada tahun 1962.
Majulah Singapura menjadi simbol pemersatu bangsa Singapura yang kental akan multikulturalisme. Edna Lim dalam bukunya Celluloid Singapore menjelaskan penggunaan bahasa Melayu dalam aktivitas kebangsaan tidak lain untuk menumbuhkan rasa nasionalisme di kalangan masyarakat multikultur (Lim, 2018: 127). Berbeda dengan Indonesia yang menggunakan bahasa Melayu Riau sebagai bahasa nasionalnya karena merupakan bahasa mayoritas yang digunakan setiap lini masyarakat, pemilihan bahasa nasional Singapura justru sebaliknya. Bahasa Melayu merupakan bahasa minoritas, hanya 12.2% masyarakatnya yang berbahasa ibu Melayu (Lim, 2018: 127). Bahasa Cina dan Inggris mendominasi bahasa sehari-hari rakyat Singapura, bahkan bahasa Inggris menjadi bahasa kerja dalam kehidupan rakyatnya. Pemilihan bahasa Melayu oleh para pendiri bangsanya merupakan upaya agar masyarakat tidak “terikat” dengan bangsa leluhurnya. Jika bahasa Cina yang diusung, maka sentimen Singapura sebagai bangsa Cina semakin, begitu pula bahasa Inggris dengan sentimen negara kolonialnya. Sentimen buruk tersebut menghasilkan pengusiran Singapura oleh pemerintah Federasi Malaysia akibat dari seringnya pergolakan yang terjadi di wilayah tersebut, serta posisi masyarakat melayu yang minoritas berbeda dengan negara bagian lainnya. Meski demikian bahasa Melayu tetap bertahan sebagai bahasa nasional, dan Majulah Singapura berperan besar dalam memperluas dan menyadarkan nasionalisme Singapura.
Referensi
Barr, M. D. (2019). Singapore: A modern history. I.B. Tauris.
LePoer, B. L., Vreeland, N., et al. (1991). Singapore: A country study. Federal Research Division.
Lim, E. (2018). Celluloid Singapore: Cinema, performance and the national. Edinburgh University Press.
National anthem. National Heritage Board. (2024, August 7). https://www.nhb.gov.sg/what-we-do/our-work/community-engagement/education/resources/national-symbols/national-anthem.
Santosa, I. (2020, September 25). Zubir said, Putra Bukittinggi Pengarang Lagu Kebangsaan Singapura. kompas.id. https://www.kompas.id/baca/dikbud/2020/09/25/zubir-said-putra-bukittinggi-pengarang-lagu-kebangsaan-singapura.
Komentar
Posting Komentar