Langsung ke konten utama

Kontekstualisasi Perbudakan & Sistem Ganimah: Sebuah Pandangan Alternatif

 

Ilustrasi Perbudakan. John Raphael Smith, Domain Publik, via Wikimedia Commons.


Apa jadinya jika membaca kisah hidup Sang Nabi, Sirah Nabawiyah, justru berakhir dengan berbagai macam pertanyaan yang menggoyahkan iman? Tenang, anda tak sendirian. Itulah yang penulis rasakan pada tahun 2021 ketika membaca salah satu buku Sirah Nabawiyah karya seorang penulis. 


    Buku tersebut, seperti buku kisah hidup Sang Nabi, menceritakan kisah hidup beliau dengan cukup runut dan informatif. Saking informatifnya, hutan pertanyaan pun muncul di kepala penulis. 


Informasi yang begitu banyak sampai-sampai tak bisa penulis cerna dengan baik. Pencernaan informasi itu begitu kasar dan tak mengenakkan, sampai-sampai membuat penulis berada dalam kabut pertanyaan yang membumbung di kepala. Singkatnya, membaca Sirah Nabawiyah justru membawa awan pertanyaan di kepala penulis. Selamat menyelami jalan-jalan spiritual yang penuh dengan pertanyaan!


Latar Belakang


Tahun 2021 adalah tahun yang penuh gonjang-ganjing bagi penulis. Dimulai dari Sirah Nabawiyah karya Syaikh Al-Mubarakfuri yang diterbitkan oleh Pustaka Alkautsar, melahirkan berbagai macam pertanyaan turunan yang sangat amat susah untuk dijawab penulis.


Sejatinya, buku tersebut ditulis dengan baik oleh sang syaikh. Pengalaman membaca kisah Sang Nabi terakhir tersebut merupakan pengalaman pertama bagi penulis dalam membaca kisah Sang Nabi. Sebelumnya, tidak pernah penulis membaca tentang kisah beliau. 


Buku setebal hampir 600 halaman tersebut menjadi semacam introduction kepada perjalanan labirin pertanyaan yang tak kunjung usai hingga tiga tahun kedepan. Seperti apa yang Kafka tulis dalam Metamorfosis, penulis mengalami metamorfosis keimanan yang begitu volatil. 


Buku tersebut dimulai, seperti buku Sirah pada umumnya, dengan pengenalan terlebih dahulu tentang Bangsa Arab secara umum, Keluarga dan Kelahiran sang Rasul, dan perjalanannya dalam melakukan dakwah sebagai pembawa risalah.

Penulis lahap buku tersebut dengan sangat susah dan penuh pergolakan batin. Pertama-tama, penulis dihadapkan dengan berbagai pertanyaan, mulai dari alasan Nabi melakukan peperangan, penawanan orang-orang kafir, hingga yang paling “mengganggu pikiran” adalah munculnya praktik memperbudak dan merampas harta lawan yang kalah.


Awalnya, sebelum beranjak kepada masalah yang lebih kompleks dan kontekstual, penulis berhadapan dengan masalah mengapa Nabi memerangi beberapa kaum yang disebutkan dalam karya Mubarakfuri tersebut. 


Awalnya, buku tersebut berperan sebagai sumber tunggal yang merubung pikiran penulis. Banyak pertanyaan-pertanyaan mengganggu yang berputar dalam otak. Mengapa sang Rasul memerangi suatu kaum tanpa alasan yang disebutkan? Pertanyaan semacam itu mulai muncul. Akan tetapi, bukan bermaksud sebagai si paling berbeda, penulis tidak mau terjebak dan puas dengan jawaban dogmatis yang hanya berkutat dalam jawaban keagamaan yang mengorbankan ruang dialog kritis. 


Penulis pun akhirnya sadar, satu sumber saja tidak cukup untuk menjawab pertanyaan yang sangat mengganggu tersebut. Akhirnya, penulis rela mengeluarkan modal untuk berinvestasi pengetahuan demi menjawab pertanyaan membandel  tersebut. Syukur Alhamdulillah, pertanyaan tersebut terjawab dengan buku karya Mubarakfuri yang lebih tebal dibandingkan dengan buku yang penulis punyai sebelumnya. 


Jawabannya bervariasi, mulai dari serangan preemptive yang dilakukan sang Rasul kepada musuh-musuhnya hingga ke jawaban sederhana, yaitu sang Rasul tak hanya berperang melawan suku Quraisy, tetapi juga melawan kabilah-kabilah lain yang tak cukup disebutkan satu persatu dalam tulisan ini. Nikmatilah proses menjemukan, menyakitkan iman, dan tentu saja menggelisahkan itu secara riil. 


    Kelahiran Pertanyaan Lain


Setelah “berpuas diri” dengan pertanyaan tentang peperangan yang berhasil dijawab dengan susah payah dengan mengorbankan uang, tenaga, bensin, dan tentu saja pikiran, bukan ketenangan yang penulis dapat, tetapi justru pertanyaan lain yang semakin membingungkan!


Dalam peperangan, adalah sebuah keniscayaan adanya pihak yang menang dan yang kalah. Penulis justru menitikberatkan dan concern dengan pihak yang kalah. Dalam peperangan yang dilalui oleh sang Rasul, pihak yang kalah tak jarang mengalami perbudakan dan perampasan harta ketika terkalahkan. 


Pertanyaan-pertanyaan terkait harta rampasan perang atau ghanimah dan perbudakan lebih membandel, menjengkelkan, dan menguras pikiran dibandingkan pertanyaan sebelumnya tentang alasan peperangan yang sudah berhasil penulis lewati. 


Penulis pun sempat putus asa dengan semua pertanyaan tentang ganimah dan perbudakan tersebut, bahkan sempat “menyakiti dan mencederai” iman penulis dengan begitu hebat, sampai-sampai dengan payah meninggalkan ibadah. Akan tetapi, penulis tidak patah arang, syukurnya penulis membekali diri dengan resiliensi dan tekad yang kuat. 


 Mulanya, pertanyaan terkait perbudakan muncul terlebih dahulu. Pertanyaan yang sangat mengganggu tersebut seperti ombak, datang dan berangsur-angsur hilang. Akan tetapi, seperti ombak, tak pernah hilang dan selalu muncul dalam pantai otak penulis.


Dalam rentang waktu Januari 2021 hingga September 2021, penulis, secara mengejutkan masih bertahan dengan pertanyaan tersebut dan tetap tak terjawab. Ratusan ribu rupiah sudah penulis habiskan untuk membeli buku kisah sang Rasul dari berbagai macam penulis, tetapi tetap pertanyaan penulis tak terjawab. 


Bahkan, penulis rela mengeluarkan uang untuk membeli buku bajakan karya Jonathan A.C. Brown, seorang profesor di sebuah universitas di Amerika Serikat yang menulis sebuah buku tentang perbudakan, Islam and Slavery. Setelah membaca secara tuntas buku tersebut, penulis menjadi sedikit lega, tetapi penulis masih saja berkutat dengan pertanyaan yang sama. 


Mengapa sang Rasul memperbudak lawannya yang kalah secara keseluruhan? Mengapa ketika ia menaklukkan sebuah kota atau kabilah melalui peperangan, bukan jaminan keamanan, ia memperbudak seluruh penduduk tersebut?


Bahkan, penulis sempat mengontak Jonathan A.C. Brown untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut. Akan tetapi, penulis tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari sang profesor, bukan bermaksud meremehkan sang profesor, tetapi penulis tetap berkutat dengan pertanyaan yang sama.


Ratusan ribu rupiah dan tenaga untuk mencari jawaban sana-sini tetap tidak menjawab pertanyaan penulis. Apa yang menjadi ironi adalah, pada Oktober 2021, penulis justru mendapatkan jawaban dari lamunan penulis ketika bersantai di atas ranjang. 


Mengapa nabi memperbudak penduduk suatu wilayah yang ditaklukkan secara keseluruhan, bahkan mereka yang tidak terlibat peperangan, seperti di Penaklukkan Bani Quraizhah? Bukankah itu tidak adil?


              Status Quo (?)


Dalam lamunan di sore hari tersebut, penulis justru mendapatkan jawaban! Penulis memberikan pandangan alternatif pribadi yang penulis tawarkan untuk mereka yang juga menanyakan hal yang sama. 


Jawaban dari pertanyaan penulis tentang perbudakan tersebut sejatinya sederhana dan kontekstual. Adalah Status Quo yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi. Apa maksudnya? Kondisi di mana sang Rasul hidup dan berperang tidak bisa dilepaskan dari Status Quo yang sedang dihadapinya. 


Apa status tersebut? Fakta bahwa ia hidup di era di mana perbudakan masih merupakan praktik sosial dan ekonomi yang masih mengakar di sebuah masyarakat, membuatnya tak bisa melakukan aksi revolusioner atau aksi yang sangat tiba-tiba dengan melarang praktik memperbudak pihak yang kalah tersebut.


Apakah perbudakan adalah sebuah hal yang salah? Jika menggunakan kacamata zaman sekarang, tentu saja salah. Akan tetapi, apa yang bisa dilakukan untuk mengubah praktik sosial-ekonomi tersebut, selain mengubah dan memperbaikinya secara perlahan-lahan melalui berbagai macam instrumen, salah satunya lewat emansipasi.


Apa jadinya jika sang Rasul tiba-tiba menggalakkan perubahan? Bagaimana jika ia secara tiba-tiba menggalakkan dan melarang untuk memperbudak pihak yang kalah dan menjadikannya sebagai ganimah atau harta rampasan perang yang bisa dimiliki oleh para tentara pemenang? Analisis penulis, tentu saja muncul gejolak-gejolak yang akan pasti muncul dalam tentara tersebut.


Mereka merasa berhak, dengan adanya konteks Status Quo tersebut, untuk mendapatkan hak mereka untuk mendapatkan budak dari mereka yang dikalahkan.


  “Menjembatani” Kedua Belah Pihak


Pandangan alternatif penulis adalah sang Rasul tidak bisa serta-merta melarang praktik memperbudak pihak yang kalah tersebut secara paksa, karena ia diikat oleh Status Quo. Bukan karena ia tidak berani, tetapi justru karena ia berani, ia mengubah dan mengemansipasi perbudakan melalui cara yang lebih halus dan bisa diterima oleh kedua belah pihak, pihak yang kalah dan pihak yang menang. 


Analisis penulis, sang Rasul berupaya untuk menyenangkan kedua belah pihak. Yang kalah diberikan status budak dengan berbagai macam “keistimewaan” dalam fikih Islam. Seperti bagaimana Islam dan Muslim seharusnya memperlakukan budak dengan baik, serta adanya hak “istimewa” bagi budak yang ingin memerdekakan diri. 


Di sisi lain, sang Rasul juga tak bisa serta-merta menyenangkan satu belah pihak saja, ia berhadapan dengan fakta bahwa para tentaranya yang berpartisipasi dalam pertempuran, memerlukan harta rampasan perang, salah satunya budak, untuk modal dan keuntungan sekaligus sebagai suatu reward setelah memenangkan peperangan.


Sederhananya, sang Rasul berhadapan dengan konteks zaman yang relevan pada saat ia hidup.


Sekarang, hal tersebut dapat dianalogikan dengan sepeda motor. Apakah sepeda motor merupakan suatu hal yang bermanfaat untuk transportasi? Tentu! Apakah sepeda motor merupakan suatu alat yang merusak lingkungan dan kesehatan? Tentu juga! Lantas mengapa presiden Republik Indonesia tidak melarang secara instan sepeda motor yang jelas-jelas merusak lingkungan? Jawabannya sama! Itu akan menimbulkan gejolak dari masyarakat pengguna sepeda motor! Apalagi dari para ojek online dan lain sebagainya, bayangkan aturan tersebut diteken dalam waktu 24 jam. Kekacauan apa yang akan terjadi?


Sang Rasul mempunyai wisdom atau kebijaksanaan yang dituntun melalui wahyu yang mampu memandang konteks zaman. Presiden, meski ia tak sebaik sang Rasul, mungkin juga memiliki sense of wisdom yang sama ketika ia dihadapkan dengan suatu hal yang dilematis mengapa ia membiarkan penggunaan sepeda motor alih-alih melarangnya, yang jelas-jelas, sepeda motor, merupakan suatu instrumen yang merusak lingkungan, tetapi ia masih dibutuhkan oleh masyarakat luas.


Ganimah Non-Manusia


Setelah berpuas diri dengan jawaban yang, ternyata, penulis temukan sembari melamun, alih-alih dari ratusan ribu rupiah yang penulis keluarkan, penulis tak langsung lega. Masalah justru datang kembali dengan pertanyaan baru! Pada awal tulisan telah disinggung adanya ganimah yang berbentuk manusia. Lantas, adakah ganimah yang berbentuk benda? Tentu saja ada!

Dalam beberapa peperangan yang dilakukan oleh sang Rasul, ia dan pasukannya mendapatkan banyak ganimah berupa benda-benda berharga non-manusia yang didapatkan dari musuh-musuh yang kalah.


Ketika ia menghadapi Bani Mushtaliq, sang Rasul memenangkan perang melawan mereka dan berhasil menguasai harta benda mereka secara keseluruhan. Muncul pertanyaan turunan dari hal tersebut. 


Apa? Jika dalam peperangan sang Rasul ia dan pasukannya merampas semua harta benda yang dipunyai oleh musuh, bahkan mereka yang tidak ikut berperang, seperti perihal perbudakan tersebut, bukankah hal tersebut tidak adil? Aduh! Penulis seperti jatuh lalu tertimpa tangga!


Lantas, apa bedanya dengan para Mongol yang menaklukkan Baghdad lalu menjarah isinya? Merampas keseluruhan isinya? Bukankah sang Rasul merupakan manusia istimewa? Mengapa ia tak berbeda dengan orang-orang yang tidak seistimewa dirinya?


Pertanyaan tersebut menjadi serangan pamungkas bagi penulis. Butuh waktu tiga tahun dalam mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.


Penulis pun berusaha untuk mencari jawaban, dari Quora bahkan hingga ke sebuah forum keagamaan di Telegram. Akan tetapi, jawaban yang penulis tidak memuaskan dan terkesan dogmatis.


Akhirnya pada tahun 2024, penulis pun berinisiatif untuk mencari-cari di internet dan menemukan sebuah buku berjudul Fikih Jihad karya Yusuf Al-Qardhawi. Dalam bab peperangan, ia menulis bahwa hukum mengambil ganimah adalah mubah dan tidak bersifat taabudi atau bersifat ibadah, alias tidak wajib dilakukan dan boleh tidak dilakukan.


Akan tetapi, penulis tidak serta merta puas dengan jawaban tersebut. Syukurnya penulis, lagi-lagi, mendapat jawaban dari arah yang tidak terduga-duga!


Ketika menonton sebuah video dari seorang ustadz, yakni Khalid Basalamah, ia menceritakan hukum pengambilan ganimah. Ia berkata bahwa harta rampasan perang harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian baru dibagi.

Lantas, apa bedanya dengan penjarahan? Pembagian ganimah dilakukan secara terstruktur dan sistematis, meskipun tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat kesamaan, yakni sama-sama merampas harta benda musuh.


Penjarahan tidak memedulikan apakah harta rampasan musuh dikelompokkan terlebih dahulu atau tidak, yang penting pasukan pemenang mengambil sebanyak mungkin apa yang bisa mereka dapatkan. Sedangkan, pembagian ganimah berjalan terstruktur dan sistematis serta mengedepankan asas ketidakrakusan. Ia mencegah kerakusan para tentara yang menang dengan cara menahan harta rampasan terlebih dahulu sebelum kemudian dibagikan, berbeda, meski sedikit, dengan penjarahan yang terlihat sangat rakus.


Singkatnya, harta rampasan haruslah dikumpulkan terlebih dahulu sebelum dibagikan. Mengambil harta rampasan secara langsung, alias menjarahnya, dianggap tindakan pencurian terhadap harta rampasan perang yang hukumannya tidak main-main. Hikmah dari hal tersebut adalah mencegah tindakan kerakusan manusia yang memang seharusnya harus dibendung.


Mengapa praktik pengambilan dan pembagian harta rampasan perang tidak serta-merta dilarang? Tentu saja karena tuntutan zaman itu! Sama seperti perbudakan, ia eksis karena zaman yang membuatnya eksis. Singkatnya, ia di-eksis-kan oleh zaman.


Bagaimana posisi sang Rasul? Sama, ia harus berhadapan dengan tuntutan Status Quo yang kemudian berimplikasi pada prosedur bagaimana tentara harus berurusan dengan harta rampasan perang tersebut. 


Begitulah akhir dari drama multibabak dalam tiga tahun, 2021-2024 ini. Ia berakhir dengan menyejukkan dan menentramkan hati. Akan tetapi, opini penulis di atas tidak luput dari perdebatan yang tentu saja masih terus terbuka. Pendapat penulis haruslah diuji oleh pendapat lain. Dengan kata lain, masih terdapat ruang diskusi yang sangat amat luas dan dalam yang dapat dimunculkan dari opini di atas. Salam Akal Sehat.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ultimatum Inggris dan Meletusnya Pertempuran 10 November

Pertempuran Surabaya merupakan pertempuran antara pasukan pejuang Indonesia dengan pasukan Kemaharajaan Inggris yang mendarat di kota Surabaya. Puncaknya terjadi pada tanggal 10 November 1945. Pertempuran pecah pada 30 Oktober setelah komandan pasukan Inggris, Brigadir Aubertin Walter Sothern Mallaby tewas dalam baku tembak. Pengungsi Tionghoa mencari perlindungan selama Pertempuran Surabaya Kematian sang brigadier terdengar ke Panglima Tertinggi Sekutu Komando Asia Tenggara, Laksamana Louis Mountbatten sehingga ia mengirimkan Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh. Mansergh menggantikan posisi Mallaby yang tewas dalam baku tembak di sekitar Gedung Internatio, dekat Jembatan Merah, pada 30 Oktober 1945 menjelang malam. Sesaat Mayor Jenderal Mansergh tiba di kota Surabaya untuk memimpin tentara Inggris yang berada di kota tersebut, sang jenderal mengirimkan ultimatum yang diperintah oleh Laksamana Mountbatten kepada Rakyat Surabaya.   Ultimatum ini dibacakan oleh Jenderal Manser...

The Essence

                 (Photo by Pramadam Muhamad Anwar) One photo, millions of meanings. Yep, you read it correctly. Protesting, couples holding hands, merchants trying to sell their products to the protesters hoping that they could achieve some revenues by selling their stuff.  Motorbikes, especially scooters were parked at the side of the road.  Water Cannon, that was being parked inside the Palace of the Governor of East Java,  (a car-like vehicle that is used by the Indonesian Police) was bursting its content, pressurized-water towards the protesters.  During the protest in Surabaya, (24/3/2025), the atmosphere that arose from the situation was just like one of The Beatles’ song called Helter Skelter . It was very tense and kind of intriguing to be able to stand as one of the protesters towards the Government’s Policy about The National Indonesian Army Regulation.  Estimated over hund...

Saat Suhu Panas di Batavia Meregang Nyawa Serdadu Inggris.

  Sewajarnya, jika tidak ada perubahan iklim yang ekstrim, musim kemarau akan berakhir di bulan September dan pada bulan Oktober akan berganti musim ke musim penghujan. Indonesia terletak di Garis Khatulistiwa, yang berarti tepat berada di lintasan matahari. Suhu yang tinggi, menjadi perhatian khusus bagi masyarakat, karena perubahan iklim semakin memprihatinkan. Sebagai contoh, di Daerah Khusus Jakarta, suhu pada saat artikel ini ditulis (bulan Oktober 2024), menurut weather.com , menunjukkan angka 33 derajat celcius.  Pendaratan pasukan Inggris di Cilincing. Thorn, William, 1781-1843; Jeakes, Joseph, engraver; Egerton, Thomas, bookseller, publisher, CC0, via Wikimedia Commons. Dikutip dari CNN Indonesia (3/10/2024), BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) membeberkan alasan mengapa suhu di Jakarta meningkat. Kepala Meteorologi Publik, Andri Ramdhani berujar kepada media terkait, kalau alasan dari terik matahari yang meningkat diakibatkan oleh minimnya awan y...