Kemerdekaan sejatinya adalah hadiah abadi bagi bangsa, namun pada usia 80 tahun Republik ini, kita perlu bercermin dengan logika yang jernih. Qiyas dalam hukum Islam mengajarkan bahwa jika sebuah penyakit memiliki sebab yang sama, maka obatnya pun serupa; korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) adalah penyakit lama yang selalu berulang karena sebabnya adalah keserakahan manusia yang tidak pernah diawasi dengan serius. Maka, sebagaimana penyakit tubuh harus disembuhkan dengan disiplin, penyakit politik dan hukum Indonesia hanya bisa disembuhkan dengan supremasi sipil yang berani menegakkan hukum atas para elit dan aparat. Tanpa itu, kemerdekaan hanyalah slogan, bukan realitas.
Dialektika Hegel mengajarkan bahwa sejarah adalah pertempuran antara tesis dan antitesis yang melahirkan sintesis. Namun, di Indonesia, yang lahir bukan sintesis, melainkan kompromi busuk: rakyat menuntut keadilan, elit menjawab dengan janji, lalu kompromi terjadi dalam bentuk kebijakan setengah hati yang tetap menguntungkan penguasa. Maka yang terjadi adalah dialektika semu—perubahan yang hanya kosmetik. Seperti kata Rocky Gerung, bangsa ini sering kali hanya "berpikir dengan kata-kata, bukan dengan makna." Kita hidup dalam demokrasi prosedural, bukan demokrasi substantif.
Polisi dan TNI yang sejatinya adalah alat negara, kerap menjelma menjadi preman berseragam. Dengan logika istihsan, kita bisa menimbang: jika hukum formal memberi ruang bagi mereka untuk diadili di pengadilan militer, maka keadilan substantif menuntut mereka diadili di pengadilan sipil, karena mereka berurusan dengan rakyat sipil, bukan medan perang. Supremasi sipil adalah logika modern; rakyat adalah bos, karena gaji polisi dan TNI berasal dari pajak rakyat. Bila mereka memeras, menindas, dan represif, maka sejatinya mereka sedang mengkhianati majikannya sendiri.
Dalam praktiknya, banyak polisi yang lebih takut pada demonstrasi mahasiswa ketimbang pada koruptor berdasi. Rakyat yang turun ke jalan sering dipukul, ditangkap, bahkan dilabeli kriminal, padahal mereka sedang menggunakan hak konstitusionalnya. Logika sederhana pun bisa mematahkan ironi ini: jika negara disebut negara hukum, maka hukum adalah tuan, bukan kekerasan aparat. Jika aparat bertindak represif, maka mereka tidak lebih dari bajingan berseragam, karena melawan nalar demokrasi. Di sinilah relevansi adagium modern: ACAB – All Cops Are Bastards—bukan karena semua polisi jahat, tapi karena sistem yang membiarkan kebusukan merajalela telah merusak institusi secara keseluruhan dan sistem kalian yang membuat akal kalian tidak jalan secara logika .
Qiyas kembali menegaskan: jika sebuah keluarga hancur karena ayahnya lalim dan hanya memeras anak-anaknya, maka sebuah negara pun hancur karena aparat dan pejabatnya hanya tahu menghisap kekayaan rakyat. Begitulah yang terjadi: banyak pejabat dan pengusaha yang menjadi benalu, menyedot sumber daya dan kekuatan rakyat untuk memperkaya diri sendiri. Mereka hidup mewah di atas penderitaan rakyat kecil yang tetap membayar pajak, tetap patuh pada hukum, dan tetap percaya pada janji kemerdekaan. Bukankah ini sebuah pengkhianatan struktural?
Rocky Gerung pernah menyinggung bahwa bangsa ini sering gagal membedakan antara “akal sehat” dan “akal kuasa.” Akal sehat menuntut agar aparat tunduk pada rakyat, karena rakyatlah yang membiayai mereka. Akal kuasa justru membalikkan logika: rakyat ditundukkan, dibungkam, diperas, seolah-olah rakyatlah pesuruh aparat. Inilah absurditas yang lahir dari logika terbalik, logika yang lebih mirip feodalisme ketimbang demokrasi. Padahal, kemerdekaan diperjuangkan untuk memutus feodalisme, bukan melahirkan oligarki baru.
Dengan istihsan, kita boleh mengambil keputusan hukum yang lebih maslahat: aparat yang melukai rakyat tidak boleh diadili di ruang gelap militer, tetapi di ruang terang sipil. Rakyat berhak mengadili, karena rakyat adalah pemilik kedaulatan. Jika hal ini ditolak, maka bangsa ini sedang berjalan mundur, dari negara hukum kembali ke negara kekuasaan. Itu berarti, kemerdekaan ke-80 hanyalah pesta tanpa makna, sementara penindasan masih berlangsung di depan mata.
Kita harus berani menyatakan bahwa korupsi, kolusi, nepotisme, serta aparat represif adalah wajah baru kolonialisme. Bedanya, penjajah kali ini berbicara dengan bahasa Indonesia, berwajah sebangsa, dan berlagak sebagai pelindung. Padahal, mereka adalah parasit dalam tubuh bangsa. Dialektika Hegel menuntut kita melahirkan sintesis baru: bukan kompromi busuk, melainkan keberanian rakyat untuk benar-benar menegakkan supremasi sipil, sehingga polisi dan TNI kembali sadar: mereka hanyalah pesuruh rakyat, bukan penguasa rakyat.
Maka, di usia 80 tahun kemerdekaan ini, hadiah terbesar bagi Indonesia bukanlah pesta kembang api atau parade militer, melainkan keberanian kolektif untuk menegakkan logika yang benar: rakyat adalah bos, aparat hanyalah pekerja. Jika aparat melawan rakyat, maka rakyat berhak mengadilinya. Hanya dengan demikian, kemerdekaan benar-benar hidup, bukan hanya angka di kalender.
Jakarta 17-08-2025
Komentar
Posting Komentar