Ketika saya menulis opini ini, saya sedang menyantap Mie Ongklok khas Wonosobo sambil menikmati keindahan alam Dataran Tinggi Dieng dari Puncak Sikunir, Jawa Tengah. Beberapa warga sekitar, yang tahu bahwa saya berasal dari Surabaya, menyempatkan diri untuk bertanya mengenai unjuk rasa yang terjadi di Kota Pahlawan.
“Pripun unjuk rasane ten Suroboyo?” (Bagaimana unjuk rasa-nya di Surabaya?), ucap seorang supir bus yang saya tumpangi.
Saya yang tak ingin bertele-tele, langsung saja menjawab, “Nggih, ngoten”, (Ya..Begitulah).
Memang, unjuk rasa di Surabaya menjadi buah bibir di mana-mana, termasuk di Wonosobo, 300 kilometer jauhnya di Barat sana.
Selain ke Bukit Sikunir, saya menyempatkan diri ke Candi Arjuna yang terletak di Banjarnegara, peninggalan Wangsa Sanjaya, era Mataram Kuno. Komplek candi seluas sekitar satu hektar tersebut sedang digunakan untuk beribadah dan ada satu candi yang sedang direnovasi. Candi tersebut berdiri megah setelah ribuan tahun lalu dibangun oleh Wangsa Sanjaya.
Candi Arjuna yang ditetapkan menjadi Cagar Budaya pada tahun 2017, menjadi sebuah bangunan yang harus dilindungi oleh negara. Candi tersebut menjadi saksi kejayaan Mataram Kuno (Medang), ribuan tahun lalu.
Dibangun sekitar tahun 800 Masehi, komplek Candi Arjuna ini terdiri dari empat bangunan, salah satunya masih mengalami proses renovasi oleh badan negara yang relevan dengan perawatan candi.
Kembali membahas mengenai unjuk rasa yang terjadi di Surabaya, memang tidak bisa dilepaskan dari aksi-aksi yang kontroversial yang dilakukan oleh mereka yang marah terhadap kebijakan pemerintah dan ketidak-sensitifan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap berbagai isu nasional.
Kenaikan harga barang, tunjangan rumah DPR yang begitu tinggi, hingga Kematian Affan, salah satu driver ojek online yang tewas dilindas oleh Polisi Republik Indonesia menggunakan kendaraan taktis, Baracuda.
Masyarakat yang marah akan naiknya tunjangan dan pendapatan DPR yang puncaknya berada di tunjangan rumah yang mencapai puluhan juta rupiah, mencapai puncaknya ketika para masyarakat yang sudah marah tersebut turun ke jalan.
Kemarahan masyarakat tersebut malah direspons dengan buruk oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan cara membunuh Affan yang merupakan pejuang rupiah di tengah buruknya ekonomi negeri ini.
Masyarakat yang sudah marah kemudian makin marah dengan tewasnya Affan tersebut. Ketidaksensitifan pemerintah, aparat, dan DPR itu lah yang menjadi bahan bakar kemarahan masyarakat.
Masyarakat yang kemudian marah dan tentunya mencapai puncaknya tersebut kemudian berakibat pada rusuhnya dan tidak terkendalinya masyarakat dalam melaksanakan unjuk rasa. Salah satu hal yang dilakukan masyarakat, akibat kemarahan mereka, adalah membakar beberapa bangunan vital, seperti pos polisi, kantor polisi, dan bahkan bangunan Cagar Budaya. Grahadi, salah satu bangunan Cagar Budaya di Kota Surabaya, menjadi korbannya.
Salah satu bangunan dari komplek Gedung Grahadi menjadi lalapan si jago merah. Lantas, apa hubungannya dengan Candi Arjuna yang dibangun oleh Wangsa Sanjaya dari Mataram Kuno? Grahadi dan Candi Arjuna sama-sama bangunan Cagar Budaya yang dilindungi negara. Alangkah baiknya jika unjuk rasa tanpa disertai merusak bangunan Cagar Budaya. Bagaimana mungkin anda membakar peninggalan sejarah? Bukankah kita harus ingat pada sejarah agar kita tidak dikutuk untuk mengulangi polanya?
Andai Wangsa Sanjaya masih berkuasa hingga kini dan membuat kebijakan ngaco, maka tak menutup kemungkinan bahwa candi mereka, Candi Arjuna, menjadi sasaran amukan masyarakat dan membakarnya.
Kini, pada tahun 2025, Wangsa Jokowisme-lah, yang terdiri dari antek-anteknya, yang berkuasa. Gedung Grahadi yang menjadi Cagar Budaya tingkat Provinsi pada era Jokowi, menjadi sasaran amukan masyarakat.
Akan tetapi, untuk memahami kemarahan masyarakat, juga tidak bisa dilepaskan dari kelakuan Wangsa Jokowisme. Mulai dari Nepotisme, Politik Gentong Babi selama Pemilihan Presiden 2024, hingga dugaan matahari kembar Jokowi dan Prabowo Subianto, hingga puncaknya pada tewasnya Affan, karena dibunuh polisi.
Affan, yang bahkan tidak mengikuti unjuk rasa, dibunuh polisi. Kita semua berpotensi menjadi Affan. Oleh karena itu, Kita Semua adalah Affan. Kita berpotensi menjadi korban kebrutalan aparat.
Kidung Imagine karya John Lennon yang dinyanyikan oleh Ketua DPR, Puan Maharani, yang berbicara mengenai perdamaian, rusak seketika dengan kelakuan bejat polisi yang tega membunuh seorang pekerja.
Mungkin niat Puan Maharani berbicara perdamaian. Akan tetapi, menjadi ironis ketika beberapa hari kemudian polisi membunuh seorang yang bahkan tidak pantas dihilangkan nyawanya.
Sekali lagi, Reformasi Total Indonesia, tak hanya Polri. Karena kita semua bisa jadi korban.
Komentar
Posting Komentar