Pendahuluan: Sebuah Gambaran Umum
Memasuki pertengahan tahun 2025, ekonomi Indonesia menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang cukup kuat setelah berbagai gejolak global seperti krisis energi, ketegangan geopolitik, dan ketidakpastian pasar finansial. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tumbuh 5,12% pada triwulan II tahun 2025, sedikit meningkat dibanding kuartal sebelumnya. Pertumbuhan ini didorong oleh konsumsi rumah tangga, ekspor komoditas utama, serta stabilitas moneter yang relatif terjaga.
Namun dibalik angka pertumbuhan yang tampak menjanjikan tersebut, tersimpan sebuah ironi sosial yang mencerminkan jurang ketimpangan yang kian melebar. Kaum proletar dan rakyat kecil kian terdesak oleh kekuatan borjuasi modern yang menguasai sektor finansial, industri besar, dan politik kebijakan. Kelas menengah, yang semestinya menjadi penyeimbang, justru semakin terbebani oleh inflasi, stagnasi pendapatan, serta ketidakpastian pekerjaan. Fenomena ini menimbulkan apa yang dapat disebut sebagai “coup de économis” — kudeta ekonomi yang dilakukan oleh kekuatan modal terhadap kedaulatan rakyat dalam sistem ekonomi nasional.
Kondisi Terkini: Ketimpangan, Pengangguran, dan Krisis Produktivitas
1. Ketimpangan Kekayaan yang Melonjak
Menurut laporan lembaga keuangan nasional, kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia tumbuh jauh melampaui pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam 10 tahun terakhir, nilai aset kelompok ini meningkat hampir 400%, sementara pendapatan riil masyarakat hanya tumbuh rata-rata 1,2% per tahun. Hal ini memperlihatkan pola akumulasi kapital yang tidak inklusif dan bertentangan dengan semangat ekonomi kerakyatan yang diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945.
2. Pengangguran Kaum Muda dan Sektor Informal
Tingkat pengangguran usia muda (15–24 tahun) masih berada di atas 17%, dengan sebagian besar bekerja di sektor informal tanpa jaminan sosial maupun kepastian upah. Sektor informal ini menjadi “penampung” dari tenaga kerja yang tidak mampu bersaing dalam pasar formal yang semakin terpusat pada korporasi besar dan otomasi industri.
3. Krisis Produktivitas dan Struktur Ekonomi
Perekonomian Indonesia masih didominasi oleh sektor-sektor berproduktivitas rendah seperti perdagangan kecil, jasa informal, dan pertanian tradisional. Belum terjadi transformasi struktural yang memindahkan tenaga kerja dari sektor rendah ke sektor berteknologi dan bernilai tambah tinggi. Inilah yang disebut para ekonom sebagai “middle-income trap” — jebakan kelas menengah yang membuat ekonomi stagnan di tingkat menengah tanpa mampu melompat ke tingkat maju.
Teori penunjang
1. Teori Keynesian: Peran Negara dalam Menjaga Permintaan dan Pemerataan
John Maynard Keynes menegaskan bahwa pasar tidak selalu mampu menyeimbangkan diri sendiri. Ketika kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang, daya beli rakyat menurun, dan ekonomi secara keseluruhan kehilangan tenaga penggeraknya. Dalam konteks Indonesia, hal ini berarti negara harus hadir secara aktif — melalui belanja publik, subsidi produktif, dan investasi negara di sektor riil — untuk menjaga keseimbangan antara produksi dan konsumsi rakyat.
Keynes akan berpendapat bahwa UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) tetap relevan, asalkan negara memberi dorongan fiskal yang cukup. Subsidi bunga, akses kredit murah, serta proteksi terhadap produk lokal menjadi wujud nyata dari intervensi Keynesian untuk menjaga permintaan agregat dan lapangan kerja.
2.Karl Marx dan Lenin: Analisis Kelas dan Modal
Karl Marx dalam Das Kapital menggambarkan bagaimana kapitalisme menciptakan ketimpangan struktural melalui eksploitasi nilai lebih (surplus value). Para pemilik modal memperkaya diri dari tenaga kerja proletar yang dibayar di bawah nilai produksi mereka.
Lenin melanjutkan pandangan ini dengan menjelaskan tahap imperialisme ekonomi, di mana modal finansial dan industri besar dari negara maju menghisap sumber daya dan tenaga kerja dari negara berkembang. Dalam konteks Indonesia modern, fenomena ini tampak dalam ketergantungan terhadap investasi asing, ekspor bahan mentah, dan masuknya modal ventura global yang menekan industri kecil nasional.
Dari perspektif Marxian, ketimpangan kekayaan dan lemahnya posisi buruh Indonesia adalah konsekuensi logis dari sistem ekonomi yang masih berorientasi pada akumulasi kapital, bukan kesejahteraan rakyat.
3.Mohammad Hatta: Ekonomi Kerakyatan dan Koperasi
Mohammad Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, memandang bahwa ekonomi tidak boleh hanya menjadi alat akumulasi kekayaan segelintir orang, melainkan harus menjadi alat perjuangan untuk kesejahteraan bersama. Hatta menolak kapitalisme yang menindas, tetapi juga menghindari sosialisme negara yang otoriter.
Dalam konsep ekonomi kerakyatan, rakyat diberi kesempatan memiliki alat produksi secara kolektif melalui koperasi, BUMDes, dan usaha rakyat berbasis komunitas. Prinsip Hatta sangat jelas: “Produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat.”
Konsep ini bukan sekadar romantisme ekonomi lokal, melainkan jalan tengah antara pasar bebas dan sosialisme negara, yang menempatkan manusia dan solidaritas sosial sebagai inti pembangunan ekonomi.
4. Marhaenisme Soekarno: Sosialisme Indonesia
Soekarno memperkenalkan Marhaenisme sebagai bentuk khas sosialisme Indonesia — berpijak pada kemandirian rakyat kecil (Marhaen) yang memiliki alat produksi sendiri, meski sederhana.
Marhaenisme menolak ketergantungan pada kapital besar dan asing, serta menuntut politik ekonomi yang memihak pada rakyat kecil. Bagi Soekarno, tujuan pembangunan bukanlah pertumbuhan semata, tetapi pembebasan rakyat dari kemiskinan struktural dan penindasan ekonomi.
Dalam konteks 2025, Marhaenisme tetap relevan untuk menumbuhkan semangat produksi lokal, kedaulatan pangan, dan industri berbasis rakyat yang tidak dikendalikan oleh modal besar atau oligarki.
5. Sosialisme Demokratis dan Tantangan Era Baru
Aliran sosialisme demokratis modern — seperti yang dipraktikkan di Skandinavia — menunjukkan bahwa ekonomi pasar dapat berjalan beriringan dengan keadilan sosial, melalui redistribusi pajak progresif, jaminan sosial universal, dan pendidikan gratis berkualitas.
Indonesia dapat mengambil inspirasi dari model ini dengan memperkuat peran negara sebagai pengatur distribusi kekayaan, bukan hanya sebagai wasit netral dalam pasar.
Penjabaran
1.Industrialisasi Demokratis sebagai Jalan Tengah Ekonomi Indonesia
Industrialisasi yang berbasis demokrasi ekonomi dan sosialisme kerakyatan harus menjadi fondasi baru dalam arah pembangunan nasional Indonesia. Industrialisasi tidak boleh hanya dimaknai sebagai peningkatan kapasitas produksi semata, melainkan sebagai proses sosial yang mengangkat martabat manusia dan memandirikan rakyat. Dalam konteks ini, industri nasional harus tumbuh bukan karena tekanan modal besar atau campur tangan oligarki, tetapi melalui partisipasi kolektif rakyat, koperasi industri, BUMN yang transparan, serta kemitraan adil antara negara dan masyarakat.
Prinsip ini berakar pada konsep “economic democracy” dari Hatta dan gagasan “democratic socialism” dari Eduard Bernstein dan Anthony Crosland, yang menolak ekstremitas komunisme totaliter dan kapitalisme predatoris. Industrialisasi demikian bukanlah instrumen penghisapan manusia atas manusia, tetapi instrumen pembebasan ekonomi rakyat dari ketergantungan struktural terhadap modal asing dan elit domestik.
2.Negara sebagai Fasilitator dan Komando Demokratis
Negara dalam sistem ekonomi sosialisme demokratis kerakyatan harus menempati posisi yang tidak otoriter namun tetap berdaulat secara ekonomi. Ia bukan “panglima ekonomi” dalam pengertian militeristik yang memerintah secara sepihak, melainkan komando moral dan intelektual yang mengarahkan jalannya ekonomi nasional. Dalam perspektif Keynesian modern, negara berperan sebagai fasilitator dan stabilisator, menjaga keseimbangan antara kepentingan publik dan mekanisme pasar melalui instrumen fiskal, kebijakan industri, dan investasi negara.
Dalam kerangka Pancasila, negara bukanlah entitas yang menindas, tetapi “pengarah arus kehidupan ekonomi” agar mengalir seperti darah dalam tubuh bangsa — merata, sehat, dan berkesinambungan. Kebijakan industri strategis harus diarahkan pada sektor yang mendukung kesejahteraan rakyat seperti energi terbarukan, pangan, teknologi hijau, dan manufaktur rakyat, tanpa menjadikan negara sebagai diktator ekonomi.
3.Solusi dan Arah Kebijakan: Jalan Menuju Ekonomi Kerakyatan Modern
Etika Keadilan Sosial dan Anti-Kemunafikan dalam Ekonomi
Pembangunan ekonomi demokratis menuntut etika sosial baru yang menolak segala bentuk kemunafikan sosial dan ekonomi. Artinya, pembangunan tidak boleh sekadar berbicara tentang pertumbuhan dan angka statistik, tetapi harus berpijak pada nilai keadilan sosial yang substansial, sebagaimana tertuang dalam sila ke-5 Pancasila.
Konsep ini sejalan dengan prinsip distributive justice dari filsuf John Rawls dan konsep keadilan substantif dari Amartya Sen, yang menekankan pemerataan kesempatan dan hasil ekonomi, bukan sekadar formalitas kesetaraan hukum. Dalam sistem ini, rakyat harus mendapatkan akses yang sama terhadap pendidikan, modal, teknologi, dan kesehatan — karena kesetaraan bukanlah pemberian, melainkan hak dasar eksistensial manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Maka, negara wajib menolak praktik ekonomi yang bersifat feodal, patronase politik, atau korporatisme semu yang menguntungkan segelintir elite di atas penderitaan mayoritas rakyat.
4.Penerapan Nyata dan Orientasi Filosofis Pancasila dalam Ekonomi
Secara terapan, industrialisasi demokratis dapat diwujudkan melalui kebijakan industri berbasis koperasi rakyat, industri kecil-menengah terpadu, dan digitalisasi UMKM. Pemerintah perlu menciptakan ekosistem ekonomi digital yang memampukan rakyat mengakses pasar global tanpa kehilangan kendali atas alat produksinya — inilah penerapan modern dari Marhaenisme digital. Di bidang energi, program “energi rakyat berdaulat” dapat menjadi sarana desentralisasi ekonomi dan politik.
Semua ini harus berjalan di bawah falsafah Pancasila yang menolak dominasi ideologi ekstrem kiri maupun kanan. Dalam kerangka filosofis, Pancasila menjadi sintesis dialektis antara sosialisme dan humanisme, antara kepemilikan sosial dan kebebasan individu. Melalui sistem ekonomi sosialisme demokratis kerakyatan ini, Indonesia dapat membangun sebuah masyarakat yang adil, makmur, dan beradab — di mana tidak ada penghisapan manusia atas manusia, tidak ada kesenjangan yang menistakan, dan tidak ada pembangunan yang menindas. Negara dan rakyat berjalan beriringan sebagai subjek sejarah, bukan objek kapitalisme global.
Langkah awal
1. Reformasi Pajak Progresif dan Redistribusi Aset
Terapkan sistem pajak yang lebih progresif terhadap aset, tanah, dan keuntungan modal.
Kembangkan Dana Keadilan Sosial Nasional yang menyalurkan hasil pajak kaya ke sektor pendidikan, kesehatan, dan perumahan rakyat.
2. Revitalisasi Koperasi dan UMKM
Jadikan koperasi digital sebagai tulang punggung ekonomi rakyat era baru.
Negara harus memberi insentif fiskal, pelatihan, dan infrastruktur digital bagi UMKM agar mampu bersaing.
3. Pendidikan Ekonomi dan Teknologi untuk Kaum Muda
Perluasan pelatihan vokasi dan inkubasi industri kreatif untuk mengurangi pengangguran kaum muda.
Hubungkan pendidikan tinggi dengan kebutuhan industri produktif, bukan hanya jasa administratif.
4. Ekonomi Hijau dan Kemandirian Energi Rakyat
Dorong program energi rakyat berbasis desa (PLTS mikro, biogas, dll).
Kemandirian energi akan menjadi basis kemandirian ekonomi.
5. Keadilan Upah dan Penguatan Serikat Pekerja
Negara harus memastikan upah minimum layak yang mengikuti inflasi dan produktivitas.
Serikat pekerja perlu diperkuat sebagai mitra sosial, bukan dianggap ancaman politik.
Penutup
Sebagai penutup, ekonomi kerakyatan berbasis sosialisme demokratis yang berlandaskan Pancasila adalah jalan tengah yang rasional, manusiawi, dan berkeadilan bagi Indonesia modern; sistem ini menolak kapitalisme yang menindas dan komunisme yang mengebiri kebebasan, sekaligus mengembalikan ekonomi kepada ruhnya: melayani manusia, bukan memperbudaknya. Negara harus menjadi pengarah yang cerdas dan demokratis—bukan komando otoriter—yang menyalurkan daya hidup ekonomi seperti darah yang mengalir ke seluruh tubuh bangsa, memberi nutrisi pada sektor-sektor produktif, dan menjamin kesejahteraan rakyat tanpa diskriminasi.
Dalam tatanan ini, rakyat bukan objek kebijakan, melainkan subjek pembangunan yang berdaulat atas alat produksi, berpartisipasi aktif dalam industrialisasi yang inklusif, dan menikmati hasil kerja bersama secara adil. Inilah hakikat keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh sila kelima Pancasila: suatu cita-cita luhur untuk menegakkan ekonomi yang berjiwa kemanusiaan, berdasar kebersamaan, dan bertujuan pada kemakmuran bersama bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jakarta, 10 Oktober 2025
Penulis: Fandu Pratomo.
Komentar
Posting Komentar