Setelah Perang Dunia II, Eropa sedang membangun kembali—bukan hanya kota dan perekonomiannya, tetapi juga semangatnya. Sepak bola, yang telah lama menjadi kekuatan pemersatu lintas batas negara, muncul sebagai simbol kuat rekonsiliasi dan semangat bersama. Dalam iklim optimisme yang penuh kehati-hatian inilah Piala Klub Juara Eropa—yang kemudian berganti nama menjadi Liga Champions UEFA—lahir. Musim 1955–56 menandai debut bersejarah turnamen tersebut, yang meletakkan fondasi bagi apa yang kelak menjadi kompetisi klub paling bergengsi di dunia sepak bola.
Berawal dari gagasan jurnalis olahraga Prancis Gabriel Hanot dari L'Équipe, gagasan untuk turnamen klub pan-Eropa mendapatkan momentum setelah kemenangan Wolverhampton Wanderers yang disiarkan televisi atas Honvéd dari Hongaria pada tahun 1953. Hanot berpendapat bahwa hanya kompetisi di seluruh benua yang dapat benar-benar menentukan klub terbaik Eropa. Dengan dukungan UEFA, yang baru didirikan dua tahun sebelumnya pada tahun 1954, kompetisi ini resmi diluncurkan pada tahun 1955. Enam belas juara nasional diundang untuk berpartisipasi, meskipun tidak semuanya menerima. Patut dicatat, juara Inggris Chelsea awalnya setuju tetapi mengundurkan diri karena tekanan dari Football League, yang khawatir akan kepadatan jadwal pertandingan. Tempat mereka digantikan oleh Gwardia Warsawa, meskipun mereka juga kemudian mengundurkan diri, sehingga mengurangi jumlah peserta menjadi 15 tim.
Formatnya sederhana: turnamen sistem gugur langsung, dengan pertandingan dua leg (kandang dan tandang) di setiap babak, yang berpuncak pada final satu pertandingan. Tidak adanya babak penyisihan grup dan hanya melibatkan juara liga nasional memberikan atmosfer eksklusivitas dan prestise pada kompetisi ini—sebuah kejuaraan sejati para juara.
Sejak awal, Real Madrid muncul sebagai kekuatan dominan dalam turnamen ini. Di bawah bimbingan pelatih José Villalonga, tim Spanyol ini memiliki skuad tangguh yang beranggotakan tokoh-tokoh legendaris seperti Alfredo Di Stéfano, Héctor Rial, dan Miguel Muñoz. Di Stéfano, yang baru saja dinaturalisasi sebagai warga negara Spanyol setelah transfer rumit dari Argentina melalui Kolombia, terbukti sangat penting—bukan hanya sebagai pemain, tetapi juga sebagai perwujudan ambisi kontinental Madrid.
Perjalanan Real Madrid menuju final ditandai dengan penampilan gemilang. Mereka mengalahkan juara Swiss Servette dengan agregat 5-1 di babak pertama, kemudian mengalahkan tim Yugoslavia Partizan Belgrade dengan agregat 4-0. Di semifinal, mereka menghadapi juara Italia AC Milan. Setelah bermain imbang tanpa gol di Milan, Real menang 5-2 di Estadio Chamartín (sekarang Santiago Bernabéu), dengan Di Stéfano mencetak dua gol dan Rial mencetak hat-trick.
Lawan mereka di final adalah Stade de Reims dari Prancis, yang dipimpin oleh Raymond Kopa yang elegan—seorang pemain yang kemudian bergabung dengan Real Madrid. Reims telah mengarungi rute yang menantang, mengalahkan juara Skotlandia Hibernian dan raksasa Hongaria Vörös Lobogó (sekarang MTK Budapest). Final, yang digelar pada 13 Juni 1956, di Parc des Princes di Paris, menarik lebih dari 38.000 penonton.
Pertandingan tersebut merangkum drama dan kemeriahan yang kelak menjadi penentu kompetisi. Reims unggul 2-0 di babak pertama, berkat gol dari Michel Hidalgo dan Jean Templin. Namun Real Madrid bangkit di babak kedua. Di Stéfano memperkecil ketertinggalan sebelum Rial menyamakan kedudukan. Kemudian, hanya beberapa menit menjelang bubaran, striker kelahiran Argentina Marquitos mencetak gol kemenangan, memastikan kemenangan 4-3 bagi Los Blancos.
Kemenangan Real Madrid lebih dari sekadar prestasi olahraga—kemenangan ini menandai datangnya kekuatan baru sepak bola Eropa. Kesuksesan klub ini turut memperkuat pengaruh Spanyol yang semakin besar di Eropa pascaperang dan menunjukkan potensi kompetisi klub lintas batas. Bagi UEFA, musim perdananya merupakan kesuksesan yang gemilang: pertandingan-pertandingannya menarik banyak penonton, menghasilkan minat media yang signifikan, dan menunjukkan kapasitas sepak bola untuk melampaui batas politik dan budaya.
Turnamen Piala Klub Juara Eropa sekarang telah menjadi contoh bagi kompetisi klub internasional yang telah bertahan selama hampir 7 dekade. Kemenangan Real Madrid menandai awal dari rentetan lima gelar juara berturut-turut yang belum pernah terjadi sebelumnya, sebuah rekor yang masih bertahan. Lebih luas lagi, turnamen ini memupuk rasa identitas Eropa melalui olahraga, membuka jalan bagi integrasi yang lebih besar dalam beberapa dekade mendatang.
Saat ini, dengan Liga Champions UEFA yang menampilkan format yang diperluas, sponsor komersial, dan siaran global, mudah untuk melupakan asal-usulnya yang sederhana. Namun, semangat musim pertama itu—yang didorong oleh para visioner seperti Hanot dan diwujudkan oleh para pionir seperti Di Stéfano—tetap menjadi intinya. Piala Klub Juara Eropa 1955–56 bukan sekadar awal dari sebuah turnamen; tetapi juga lahirnya tradisi yang terus memikat jutaan orang di seluruh dunia.
Lihat:
1955/56: Madrid claim first crown
Komentar
Posting Komentar