Masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia 1945-1949 menjadi periode yang sangat "berwarna" bagi Indonesia. Warna yang indah dan menyedihkan mengisi periode yang kita sebut masa revolusi kemerdekaan. Indah dengan berbagai perlawanan, menyedihkan dengan berbagai kehilangan.
Belanda sebagai pihak yang berseteru jelas mengalami banyak korban dari revolusi, bagaimana dengan Indonesia? Kita juga sama. Revolusi kemerdekaan yang kita jalankan juga menghilangkan banyak nyawa bagi pihak kita. Revolusi kita menghilangkan banyak pejuang yang terkena senjata Belanda, tetapi ada juga yang terkena senjata kita sendiri. Beberapa kejadian mengiringi langkah revolusi saat itu yang juga mengarah kepada masyarakat Indonesia.
Korban revolusi kita bukan hanya Belanda, tetapi elemen masyarakat Indonesia juga. Beberapa aksi dilancarkan oleh faksi rakyat untuk melawan sesama bumiputera yang dicap dekat dengan Belanda dan khususnya feodalisme di masyarakat. Peristiwa 3 Daerah, Revolusi Sosial Sumatera Timur, Tewasnya Romo Sanjaya, Penghakiman terhadap etnis tionghoa di beberapa daerah menjadi bukti bahwa revolusi kita juga menghasilkan korban dari kita sendiri.
Peristiwa 3 Daerah misalnya, yang terjadi di wilayah Karesidenan Pekalongan. Tempat terjadinya konflik berada di Tegal, Brebes, Pemalang. Kejadian yang cukup membekas adalah di Tegal. Konflik ini diawali oleh kekesalan dan penderitaan masyarakat kecil terhadap kondisi pada masa kolonial, Jepang, dan di awal kemerdekaan. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya pangreh praja sebagai pejabat di masa itu kurang bisa menampung aspirasi rakyat. Dalam beberapa kesempatan juga pangreh praja ini malah memperkaya diri dan lebih condong kepada kolonial. Akhirnya ketika peristiwa kemerdekaan kita mulai menyebar, masyarakat mulai merasa mendapatkan kebebasan dari penjajahan.
Beda dengan sikap pegawai daerah yang beberapa terlihat tidak senang dengan situasi kemerdekaan Indonesia. Efek dari ketidaksukaan ini menjadikan para pangreh praja sebagai pihak yang dibenci oleh masyarakat di karesidenan Pekalongan. Kelompok elit bumiputera di Pekalongan mulai mendapatkan kekerasan dan ancaman. Kelompok ini mendapatkan sebutan "Kutil".
Kutil merampok dari orang-orang elit atau bangsawan di wilayah Pekalongan untuk kemudian dibagikan kepada masyarakat yang kurang mampu. Karena pada dasarnya harta-harta kaum elit ini adalah dari jerih payah orang-orang biasa di masa lalu yang dilupakan oleh pihak sebelumnya. Meski demikian beberapa kaum elit merasa traumatik terhadap apa yang dilakukan oleh kelompok Kutil. Hingga pada akhirnya setelah masa revolusi, pada tahun 1951, para pentolan kutil di adili dan kemudian dihukum mati di karesidenan Pekalongan.
Peristiwa selanjutnya adalah peristiwa terbunuhnya Romo Sanjaya pada masa revolusi Indonesia tahun 1948. Romo Sanjaya pada saat itu dibunuh, tapi sampai sekarang masih belum diketahui secara pasti siapa yang melakukan pembunuhan terhadap Romo Sanjaya. Ia terbunuh bersama Frater Bouwens, pada saat terjadi penyerangan terhadap pasukan Belanda yang bergerak menuju ke Semarang. Dalam memori ingatan lingkungan gereja, Romo Sanjaya dianggap martir, karena “melindungi sekolah Missi dan anggota lainnya dari masa revolusi kemerdekaan”. Yang dimaksud dalam masa revolusi kemerdekaan ini adalah kewaspadaan beberapa rakyat yang waspada terhadap hubungan masyarakat dengan pemerintah Belanda. Aspek misionaris tidak bisa dilepaskan dari kedekatan dengan pihak Belanda pada saat itu. Masih cukup simpang siur laskar/pasukan mana yang dahulu menghabisi Romo Sanjaya beserta Frater Bouwens tadi. Satu yang pasti peristiwa ini menjadi salah satu bukti sentimen anti Belanda sangat kuat di masyarakat.
Kekerasan dan pembunuhan terhadap etnis Tionghoa terjadi salah satunya di wilayah Malang, Jawa Timur. Peristiwa ini terjadi pada masa-masa awal kemerdekaan tepatnya selama tahun 1946. Muncul desas-desus adanya organisasi Tionghoa yang anti kemerdekaan yang dipimpin oleh Kwee Djoen Siang di wilayah sekitaran Jagalan, Malang. Usaha yang dilakukan dengan mencetak uang palsu, tetapi organisasi ini tidak terlalu masif secara pergerakannya. Meski demikian anggapan bahwa orang-orang Tionghoa di Malang tidak mendukung perjuangan Indonesia mulai menyebar dimana-mana. Seorang penulis Tionghoa yang menggunakan nama samaran Tjamboek Berdoeri yaitu Kwee Thiam Tjing menuliskan bahwa masa mencekam di sekitar tanggal 21 sampai 31 Juli 1947. Masa mencekam itu juga bertepatan dengan agresi militer pertama Belanda yang dilancarkan di wilayah Republik Indonesia.
Golongan pejuang yang termasuk dalam kriminal melakukan tindakan kekerasan yang tidak berperikemanusiaan terhadap orang Tionghoa. Hal ini, ditengarai oleh isu mengenai masyarakat keturunan Tionghoa yang memihak Belanda dan tidak mendukung perjuangan Republik. Mulai terjadi pembakaran penjarahan dan pembunuhan terhadap orang-orang Tionghoa di wilayah Malang. Meski demikian masih terdapat orang-orang Indonesia yang tidak terpancing dengan hal seperti itu, ada beberapa orang Tionghoa yang selamat dari peristiwa yang terjadi pada 21 sampai 31 Juli 1947. Meski demikian, kelompok kriminal ini masih mampu melakukan aksi-aksi nya, karena pemerintah kota Malang sedang sibuk menghadapi pasukan Belanda yang sudah berhasil masuk ke wilayah Jawa Timur.
Ini merupakan bagian dari peristiwa buruk pada masa revolusi kemerdekaan di Malang. Tahun sebelumnya saat mendekati akhir 1945, masyarakat Tionghoa sudah menunjukkan mendukung kemerdekaan dengan Siaw Giok Bie dan Go Gien Tjwan membentuk Angkatan Muda Tionghoa (AMT) yang bergabung dengan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI). Sentimen yang menyebar sudah kadung menjadi makanan empuk masa revolusi.
Oleh: Fajar Wahyu Sejati
Mahasiswa Sejarah UNY, senang dengan olahraga dan sejarah kiri pasca kemerdekaan
Kurasi: Artaqi Bi Izza Al Islami
Referensi:
Mafiroh, B. Z. (2023). Implikasi Revolusi Sosial Tiga Daerah (Tegal, Brebes, & Pemalang) Terhadap Kehidupan Masyarakat Di Tegal Oktober-Desember (Doctoral dissertation, IAIN SYEKH NURJATI. S1 SPI).
Pratiwi, G. S. (2022) Kekerasan Terhadap Golongan Tionghoa pada Masa Revolusi di Malang, 1945–1949. Lembaran Sejarah, 18(1), 98-114.
Lucas, A. E. (1989). Peristiwa tiga daerah: revolusi dalam revolusi. Pustaka Utama Grafiti.
BEREDO, A. R. (2017). " MARTIR" PERTAMA INDONESIA: MEMORI KOLEKTIF MASYARAKAT KATOLIK DI INDONESIA TERHADAP FIGUR ROMO SANDJAJA 1948-2000AN (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
Penelusuran ke makam Romo Sanjaya, Maret 2023
Komentar
Posting Komentar