Langsung ke konten utama

Coen, Banda, dan Orang Belanda yang Hilang

 

Pala adalah salah satu rempah yang masuk dalam lima komoditas ekspor Indonesia yang terbesar setelah kayu manis, kemiri, dan lada. Mungkin di abad ke-21 ini, pala atau myristica fragrans, tidak terlalu bernilai dan bisa didapatkan di toko kelontong terdekat dan harganya mungkin masih terjangkau bagi semua kalangan masyarakat. Bahkan, di Belanda sendiri, harga 1 kilogram pala, “hanya” sekitar 33 ribu rupiah (dengan kurs Euro 16.500 rupiah). Hal ini sudah barangtentu berbeda harga dengan sekitar 400 tahun yang lalu, lebih tepatnya pada tahun 1600-an. Bangsa Eropa banyak yang berlomba-lomba menjelajah ke berbagai belahan dunia untuk mendapatkan rempah-rempah, salah satunya, pala.

Salah satu daerah penghasil pala di masa lalu adalah Kepulauan Banda yang kini berada di Provinsi Maluku, Indonesia. Menurut data dari Kementerian Pertanian, selama sepuluh tahun terakhir, produksi pala Indonesia cenderung mengalami peningkatan, yaitu dari tahun 2011 hingga 2020.

Peta Kartografi Kepulauan Maluku tahun 1750 yang dibuat oleh Jacques-Nicolas Bellin (1703-1772)

Dewasa ini, Pala menjadi komoditas ekspor yang “digandrungi” di Uni Eropa. Menurut laporan Analisis Ekspor Biji Pala Indonesia ke Tujuh Negara Uni Eropa Periode 2012-2019, pada jurnal tersebut dipaparkan jika nilai ekspor biji pala Indonesia ke Uni Eropa, dari tahun 2012-2019, rata-rata mencapai 44,46 juta Dollar AS. 

“Kegemilangan” Indonesia dalam memproduksi pala ternyata sudah jauh sejak dahulu menjadi daya tarik bagi bangsa Eropa. Belanda, contohnya sudah “terjerat” dengan biji pala sehingga mereka mulai berhubungan dengan masyarakat Banda demi mendapatkan biji pala, yang pada zaman tersebut, tentunya tidak seharga 2 euro, tetapi bahkan dibayar menggunakan koin emas Spanyol. 

Pada eranya, pernah sekelompok armada Compagnie van Verre - Pendahulu VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie)- pimpinan Laksamana Muda Jacob van Heemskerck pergi berlayar menuju Banten dan Ambon, sebelum ke Kepulauan Banda, sebagai tempat tempat persinggahan. 

Di Kepulauan Banda, armada pimpinan van Heemskerck menemukan banyak tanaman pala dan bunga pala, tepatnya di Banda Besar. Terdapat Gunung berapi atau biasa disebut “Gunung Api”, di daerah Banda tersebut. Uniknya, Gunung Api sebelumnya sudah tidak aktif selama bertahun-tahun, sedangkan, ketika orang Belanda datang, gunung tersebut meletus. Sehingga, secara kebetulan, kedatangan Orang Belanda di Banda, ditandai dengan letusan Gunung Api. Van Heemskerck kemudian mendarat di Orantata, yang kemudian dua puluh dua tahun kemudian dikepung oleh Jan Pieterszoon Coen.

Van Heemskerck sendiri berada di bawah bagian dari armada yang lebih besar yang berlayar di bawah arahan Laksamana Jacob van Neck. Kedatangan mereka dibarengi dengan rasa curiga dari orang Banda karena pendatang baru tersebut, orang Belanda, bersikap lebih kasar dibandingkan orang Portugis. Letusan Gunung Api tersebut juga dianggap sebagai pertanda ketidakberuntungan. Penduduk diingatkan oleh seorang suci beragama Islam, lima tahun sebelumnya, bahwa akan terjadi penaklukkan yang akan dilakukan oleh orang kulit putih dari negara yang jauh. Nampaknya, letusan gunung itu hanyalah sebuah kebetulan belaka, mengenai kepercayaan masyarakat setempat terkait ramalan orang suci tersebut merupakan koridor lain dari pembahasan sejarah.

Pada tahun 1602, sebagai akibat dari penjelajahan Belanda di Kepulauan Banda, mereka menempatkan beberapa orang Belanda di Banda. Anehnya, tiga tahun kemudian, yaitu pada tahun 1605, mereka menghilang tanpa jejak. Apa yang sebenarnya terjadi terhadap mereka juga tidak jelas. Ketika armada Belanda yang dipimpin oleh Laksamana Steven van der Hagen tiba di Banda dan mengetuk pintu salah satu pos perdagangan, hal yang mengejutkan justru terjadi. Mereka yang ada di dalam pos perdagangan bukanlah orang Belanda, tetapi orang Inggris. Apa yang terjadi terhadap mereka, menurut Marjolein van Pagee, dalam bukunya Genosida Banda, Kejahatan Kemanusiaan Jan Pieterszoon Coen, menyebutkan bahwa cerita mengenai hilangnya orang Belanda tersebut erat kaitannya dengan agama. 

Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa terdapat cerita yang dicatat, yang melaporkan bahwa dua dari orang Belanda yang ditempatkan di Banda, kemudian mereka berganti agama ke Islam. Hal ini menimbulkan dendam bagi rekan-rekan mereka, yang menganggap perpindahan agama tersebut adalah sebuah pembelotan. Selanjutnya, kedua orang yang diduga telah berpindah agama tersebut dibunuh. Kemudian, orang Belanda yang membunuh rekannya yang masuk Islam, kali ini justru dibunuh oleh orang Banda akibat tindakan kejam mereka.

Dalam buku karya Willard A. Hanna, Kepulauan Banda Kolonialisme dan Akibatnya di Pulau Pala, disebutkan bahwa sekelompok orang Belanda yang hilang tersebut merupakan hasil dari instruksi Laksamana Hermanszoon yang kemudian pergi dari Banda. Sebelum pergi, ia menempatkan sepuluh orang di bawah pimpinan J. de Bitter untuk bekerja di dua pos perdagangan Belanda. Hal yang akan terjadi setelahnya sudah dapat ditebak, de Bitter dan kawan-kawannya hilang.

    Terdapat empat versi yang berbeda mengenai nasib sekelompok orang Belanda tersebut, yang pertama, mereka dikabarkan masuk Islam dan dibunuh oleh rekan mereka karena merasa dipermalukan. Yang kedua, merupakan suatu dugaan bahwa de Bitter diselamatkan bersama sepuluh orang Belanda di laut dekat Makassar. Yang ketiga, menurut Jacobus Anne van der Chijs dalam karyanya De vestiging van het Nederlandsche gezag over de Banda-eilanden (1599-1621), disebutkan bahwa van der Chijs memiliki dugaan jika J. de Bitter bersama para anak buahnya dibawa ke Bantam (Banten).  Versi keempat yang ditulis oleh van der Chijs seolah setengah mengamini pendapat Marjolein van Pagee mengenai nasib orang Belanda di Banda yang hilang. Dalam karyanya, Jacobus menulis bahwa “Apa yang terjadi di Kepulauan Banda dalam waktu tersebut ditutupi oleh sebuah tirai yang saya sendiri tidak bisa menyingkirkannya atau mengangkatnya. Apa yang kita ketahui adalah pada suatu waktu yang tidak diketahui, orang-orang Banda “membunuh” lima orang Belanda dan memaksa de Bitter dan para orangnya untuk enyah dari pulau mereka.”

Setidaknya, hal itulah yang dapat diterima oleh masyarakat luas mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada orang-orang Belanda yang hilang. Mengenai teori perpindahan agama berujung pembunuhan bisa jadi sangat masuk akal karena sentimen agama yang masih cukup kental dan memiliki pengaruh yang kuat pada masa itu. Bahkan, jika kita mengingat salah satu slogan dari VOC, Gospel, hal tersebut menjadi lebih masuk akal lagi. 

Pada tahun 1609, armada VOC yang dikomandoi oleh Laksamana Pieter Willemsz Verhoeff datang ke Banda dengan 13 kapal. Di saat yang sama, Inggris sudah berada di Banda dengan pimpinan Kapten William Keeling yang ternyata sudah membuka kantor dagang di Banda Besar dan Banda Neira. Di saat yang sama pula, di antara barisan prajurit yang berada di kapal milik Verhoeff tersebut, terdapat Jan Pieterszoon Coen muda yang kala itu baru berusia 22 tahun, yang bekerja sebagai sekretaris di kapal Hoorn. Hal ini menjadikannya sebagai seorang “Veteran Banda” karena ia sudah semenjak awal terlibat dalam upaya Belanda untuk memonopoli perdagangan di Banda. Nantinya, setelah menjadi sekretaris, J.P. Coen kemudian menjadi Gubernur-Jenderal Hindia Belanda dan terkenal secara kejam membantai orang-orang Banda.  

Jan Pieterszoon Coen lahir di Hoorn pada tahun 1587. Ia adalah putra dari Pieter Willemszoon Coen, yang meninggal pada saat Jan Pieterszoon Coen berada di Roma pada tahun 1600 untuk belajar mengenai pembukuan. Pada tahun 1607, setelah dari Roma, ia bergabung dengan VOC dan menjabat sebagai onderkoopman atau saudagar muda. 

Pada tahun 1621,  Coen mulai menunjukkan kekejamannya dengan mengeksekusi empat puluh tujuh orang di Banda. Hal tersebut terjadi lantaran masyarakat Banda menolak untuk menyerahkan masyarakat pelarian yang mengungsi. Penolakan penyerahan pengungsi tersebut dianggap Coen sebagai konspirasi dan hasilnya adalah ia mengeksekusi puluhan orang di Banda. 

Kekejaman Coen tidak berhenti sampai disana saja, pada tanggal 24 Februari 1621, ia mengadakan pertemuan dengan para dewan kapal yang mana mereka pada akhirnya memutuskan untuk menghancurkan total dan memusnahkan penduduk Banda. Pasukan VOC diberi perintah tegas, rumah dan kapal para penduduk Banda harus dibakar. Apa yang dilakukan Coen tidak hanya sebuah pembantaian keji, tetapi juga perbudakan, dalam buku yang sama juga diceritakan bahwa terdapat 789 orang yang dibawa ke Batavia untuk dijadikan budak. Tak hanya sampai di situ, Martinus Sonck, juga secara sengaja membuat para penduduk Banda kelaparan, bahkan dengan situasi yang sudah sulit, dengan keterbatasan bahan makanan. 


Daftar Pustaka

Hanna, Willard A. Kepulauan Banda Kolonialisme dan Akibatnya di Kepulauan Pala. Gramedia. 1983. 

van Pagee, Marjolein. Genosida Banda, Kejahatan Kemanusiaan Jan Pieterszoon Coen. Komunitas Bambu.

van der Chijs, Jacobus Anne. De vestiging van het Nederlandsche gezag over de Banda-eilanden (1599-1621). Albrecht. 1886. 

Samhina, L., Nurmalina, R. and Netti Tinaprilla (2023). Daya Saing Biji Pala Indonesia di Pasar Internasional. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 28(2), hlm. 209–221.

Susanti, A. and Yuliana, L. (2021). Analisis Ekspor Biji Pala Indonesia ke Tujuh Negara Uni Eropa Periode 2012-2019. Seminar Nasional Official Statistics, 2021(1), hlm. 723–732.


Penulis: Pramadam Muhammad Anwar

Editor: Artaqi Bi Izza A.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ultimatum Inggris dan Meletusnya Pertempuran 10 November

Pertempuran Surabaya merupakan pertempuran antara pasukan pejuang Indonesia dengan pasukan Kemaharajaan Inggris yang mendarat di kota Surabaya. Puncaknya terjadi pada tanggal 10 November 1945. Pertempuran pecah pada 30 Oktober setelah komandan pasukan Inggris, Brigadir Aubertin Walter Sothern Mallaby tewas dalam baku tembak. Pengungsi Tionghoa mencari perlindungan selama Pertempuran Surabaya Kematian sang brigadier terdengar ke Panglima Tertinggi Sekutu Komando Asia Tenggara, Laksamana Louis Mountbatten sehingga ia mengirimkan Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh. Mansergh menggantikan posisi Mallaby yang tewas dalam baku tembak di sekitar Gedung Internatio, dekat Jembatan Merah, pada 30 Oktober 1945 menjelang malam. Sesaat Mayor Jenderal Mansergh tiba di kota Surabaya untuk memimpin tentara Inggris yang berada di kota tersebut, sang jenderal mengirimkan ultimatum yang diperintah oleh Laksamana Mountbatten kepada Rakyat Surabaya.   Ultimatum ini dibacakan oleh Jenderal Manser...

Saat Suhu Panas di Batavia Meregang Nyawa Serdadu Inggris.

  Sewajarnya, jika tidak ada perubahan iklim yang ekstrim, musim kemarau akan berakhir di bulan September dan pada bulan Oktober akan berganti musim ke musim penghujan. Indonesia terletak di Garis Khatulistiwa, yang berarti tepat berada di lintasan matahari. Suhu yang tinggi, menjadi perhatian khusus bagi masyarakat, karena perubahan iklim semakin memprihatinkan. Sebagai contoh, di Daerah Khusus Jakarta, suhu pada saat artikel ini ditulis (bulan Oktober 2024), menurut weather.com , menunjukkan angka 33 derajat celcius.  Pendaratan pasukan Inggris di Cilincing. Thorn, William, 1781-1843; Jeakes, Joseph, engraver; Egerton, Thomas, bookseller, publisher, CC0, via Wikimedia Commons. Dikutip dari CNN Indonesia (3/10/2024), BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) membeberkan alasan mengapa suhu di Jakarta meningkat. Kepala Meteorologi Publik, Andri Ramdhani berujar kepada media terkait, kalau alasan dari terik matahari yang meningkat diakibatkan oleh minimnya awan y...

Tragedi Hotel Yamato

Tanggal 18 September 1945, pasukan Sekutu yang tergabung dalam Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) yang berada dibawah kendali AFNEI tiba di Surabaya. Satuan ini memiliki tugas untuk mengurus tawanan Belanda sekaligus melucuti sisa-sisa tentara Jepang. Mereka menjadikan hotel Yamato sebagai markas bantuan rehabilitasi untuk tawanan perang dan Interniran. Hotel Yamato (Sekarang Hotel Majapahit) dan Teks Peringatan Peristiwa 19 September (Wikimedia Commons). Tanggal 19 September 1945, tepatnya pada pukul 21:00, sekelompok orang dari pihak Belanda dibawah komando W.V.C Ploegman, diperintahkan untuk mengibarkan bendera Belanda di atas hotel Yamato tanpa seiizin pemerintah Surabaya. Keesokan harinya, para warga yang melintas di depan hotel Yamato dibuat terkejut dan marah karena Belanda telah melecehkan harga diri Indonesia. Massa yang kesal pun mendatangi hotel Yamato untuk memprotes tindakan Belanda. Residen Soedirman yang dikawal oleh Sidik dan Haryono, kemud...