Surabaya pada penghujung tahun 1945 tengah membara dengan semangat revolusi. Berita kekalahan Jepang di Perang Pasifik beserta proklamasi kemerdekaan telah menyebar ke kota pelabuhan tersebut. Layaknya kota-kota lain, perebutan kekuasaan dan senjata sedang terjadi sepanjang September 1945. Di Surabaya, aktivitas ini diorganisir oleh polisi istimewa, satu-satunya unit yang memiliki persenjataan lengkap pada masa itu. Pihak Jepang tidak melucuti persenjataan mereka lantaran tugas mereka sebagai penjaga keamanan dalam negeri masih dibutuhkan, terutama setelah pasukan Jepang mendapatkan perintah untuk menjaga status quo di Hindia Belanda hingga pasukan sekutu mengambil alih.
Rencana mengenai perampasan senjata-senjata milik pasukan Jepang dirumuskan pada 23 September 1945 dalam rapat raksasa II yang dilaksanakan di lapangan Tambaksari. Perebutan dilakukan dengan menyerbu markas maupun tempat penyimpanan senjata di kota Surabaya. Penyerbuan ini dipimpin oleh segelintir anggota polisi istimewa, beserta para pemuda Surabaya. Salah satu target serangan tersebut adalah gedung Don Bosco. Bangunan tersebut merupakan panti asuhan milik yayasan Don Bosco yang berdiri tahun 1937. Ketika masa pendudukan Jepang ke Hindia Belanda, bangunan ini berubah fungsi menjadi gudang penyimpanan senjata dan amunisi, bahkan di klaim terbesar di Asia Tenggara. Atas informasi tersebut, para pemuda menjadikannya sebagai target utama.
Anggota Palang Merah Cina di Surabaya tetap siap untuk mengumpulkan korban dari pertempuran tersebut. |
Tanggal penyerbuan Gudang senjata Don Bosco ini masih belum pasti, akan tetapi kemungkinan dimulai dalam kurun waktu 26 September – 1 Oktober 1945, serta diduga terjadi beberapa hari. Berbeda dengan target yang lain, dalam serangan ini hampir seluruh lapisan masyarakat, khususnya para pemuda dari daerah sekitar lokasi ikut mengepung bangunan dengan menyuarakan tuntutan penyerahan senjata yang berada di dalam gudang tersebut. Para pemuda bersenjatakan bambu runcing, sementara personel polisi istimewa membawa senjatanya masing-masing. Pasukan Jepang yang berada di dalam gudang bernama Dai 10360 Butai Kaisutiro Butai dibawah kepemimpinan Mayor Hashimoto. Terlihat mereka bersiap menghadapi massa bila situasi mulai memanas. Situasi mencekam menyelimuti gedung Don Bosco. Kedua belah pihak saling bersiap menghadapi kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
Demi mengatasi situasi stagnan ini, kedua belah pihak melakukan negosiasi. Berdasarkan kesaksian Soetomo (Bung Tomo) dalam bukunya, Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan Pengalaman Seorang Aktor Sejarah, Pihak pemuda diwakili oleh dirinya dengan beberapa arek Suroboyo lainnya, Subianto Notowardojo dan Mamahit. Soetomo sendiri merupakan seorang wartawan kantor berita milik Jepang, Domei sehingga ia dipercaya untuk menemui perwakilan dari pihak seberang. Pasukan Jepang sendiri diwakili langsung oleh komandannya, Mayor Hashimoto, kedua belah pihak berdiskusi di dalam gedung panti asuhan tersebut. Melalui perundingan ini, diketahui bahwa mereka hanya mematuhi perintah atasan mereka, Mayor Jenderal Iwabe Shigeo, komandan brigade independen gabungan ke 28 (28th Independent Mixed Brigade) yang berada dibawah Tentara ke-16 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Sementara pihak pemuda menginginkan penyerahan senjata segera dilakukan, bahkan mengeluarkan ancaman bahwa mereka yang mengepung gedung akan menyerbu masuk bila tidak dituruti.
Untuk menengahi perdebatan ini, pihak Jepang meminta Bung Tomo dkk untuk dipertemukan dengan para pejabat pemerintah Republik Indonesia (RI), maka dihubungilah markas Badan Keamanan Rakyat (BKR) Surabaya dan Kantor Pemerintah Surabaya. Tujuan dari keinginan pihak Jepang ini adalah untk mendapatkan jaminan keselamatan bila situasi semakin memanas. Pada akhirnya pihak RI mengutus beberapa komandan BKR, H.R. Muhammad Mangoendiprodjo (mantan Daidancho Bataliyon PETA Sidoardjo) dan Soejitno (mantan Keibodan). Hasil dari perundingan keduanya ini ialah Mayor Hashimoto beserta pasukannya bersedia menyerahkan seluruh persenjataan mereka dengan syarat mereka diberikan keamanan untuk keluar dari gedung, serta semua perjanjian ini harus atas sepengetahuan Mayor Jenderal Shigeo.
Upacara serah terima dilakukan pada 1 Oktober 1945. Komandan Polisi Istimewa Surabaya, Moehammad Jasin menjadi perwakilan RI dalam upacara tersebut. Kedua belah pihak kemudian menandatangani perjanjian dan serah terima persenjataan berlangsung damai. Ditunjuknya M. Jasin sebagai perwakilan RI secara simbolis memberikan pesan kepada Pasukan Sekutu bahwa tanggungjawab persenjataan milik Pasukan Jepang di Surabaya diserahkan kepada Polisi Istimewa yang memang tugasnya menjaga keamanan hingga Pasukan Sekutu tiba. Diharapkan persenjataan tersebut yang nantinya akan dilucuti, tetap diserahkan kepada Pasukan Sekutu. Selesainya serah terima jabatan menandai berakhinya pula penyerbuan tersebut. Sejauh data yang ada, tidak ada korban jiwa dari kedua belah pihak. Senjata-senjata yang didapatkan dari Gudang senjata ini nantinya berguna dalam pertempuran menghadapi Belanda dan Inggris sebulan kemudian. Sementara itu, nama Bung Tomo semakin dikenal di kalangan arek-arek Surabaya berkat jasanya berunding dengan Jepang.
Referensi
Pustaka Jawatimuran. (2012). Penyerbuan Gudang senjata Don Bosco. Diakses pada 20 November 2024.
Siong, H. B. (2003). Captain Huyer and the massive Japanese arms transfer in East Java in October 1945. Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, 159(2–3), 291–350.
Wahyudi, D. T., & Kasuma, G. (2014). Perang Revolusi di Surabaya dan Keterlibatan Karsono Agustus-November 1945. VERLEDE, 4(2), 107–114.
Komentar
Posting Komentar