Perjanjian Giyanti, atau Verdrag van Gijanti dalam bahasa Belanda, merupakan perjanjian penting yang ditandatangani pada 13 Februari 1755. Perjanjian ini secara resmi membagi Kesultanan Mataram menjadi dua bagian: Kasunanan Surakarta yang diperintah oleh Pakubuwana III, dan Kesultanan Yogyakarta yang diperintah oleh Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana I. Kesepakatan ini merupakan hasil dari konflik internal di Mataram yang melibatkan VOC dalam Perang Tahta Jawa Ketiga (1749–1757).
Foto naskah Perjanjian Giyanti yang kini disimpan di Perpustakaan Nasional Indonesia. |
Latar Belakang
Perang Tahta Jawa Ketiga bermula dari ketidakpuasan berbagai pihak terhadap VOC dan internal Mataram. Pada tahun 1743, Pakubuwana II menyerahkan pantai utara Jawa dan Madura kepada VOC sebagai imbalan atas pemulihan kekuasaannya setelah Pemberontakan Tionghoa. Namun, konflik berlanjut setelah wafatnya Pakubuwana II pada 1749.
Pakubuwana III, didukung VOC, menghadapi perlawanan dari Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said). Mangkubumi merasa terpinggirkan dalam struktur kekuasaan. Setelah pertempuran panjang, Pangeran Mangkubumi menerima tawaran perdamaian VOC di Giyanti, sementara Sambernyawa menyepakati Perjanjian Salatiga (1757) yang memberinya wilayah Mangkunegaran.
Proses Perundingan
Perundingan dimulai pada 10 September 1754 oleh Nicolaas Hartingh, perwakilan VOC, yang menemui Pangeran Mangkubumi di Giyanti. Setelah negosiasi yang penuh kecurigaan, kesepakatan tercapai dengan syarat kedua belah pihak bersumpah untuk menaati isi perjanjian.
Isi Perjanjian
Perjanjian Giyanti terdiri dari beberapa pasal yang menekankan pembagian wilayah dan hubungan antara kedua keraton dengan VOC:
1. Pembagian Wilayah: Mataram dibagi menjadi dua; Surakarta di bawah Pakubuwana III dan Yogyakarta di bawah Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I.
2. Kedaulatan Terbatas: Sultan dan Susuhunan harus mendapatkan persetujuan VOC untuk pengangkatan Pepatih Dalem (pejabat eksekutif utama) dan bupati.
3. Pajak dan Ekonomi: VOC berhak atas bahan makanan dengan harga tetap, serta menerima pajak tahunan sebesar 10.000 real dari Kesultanan Yogyakarta.
4. Keamanan dan Kerja Sama: Sultan Yogyakarta berkewajiban membantu Surakarta jika diperlukan, sementara VOC menjamin stabilitas politik di kedua keraton.
Dampak dan Signifikansi
1. Pembagian Kekuasaan: Perjanjian ini menandai berakhirnya kesatuan politik Mataram. Kesultanan terbagi menjadi dua entitas besar, Surakarta dan Yogyakarta, yang tetap bertahan hingga kini.
2. Dominasi VOC: Perjanjian ini memperkuat kendali VOC atas Jawa melalui pengawasan langsung terhadap kedua keraton.
3. Pergeseran Kekuatan Lokal: Konflik antara bangsawan lokal dan VOC membuka jalan bagi integrasi Jawa ke dalam sistem kolonial Belanda.
Kesimpulan
Perjanjian Giyanti mencerminkan dinamika politik Jawa abad ke-18 yang didominasi oleh konflik internal, intervensi kolonial, dan kompromi elite lokal. Meskipun dianggap sebagai solusi politik, perjanjian ini menguatkan posisi VOC sebagai kekuatan dominan di Jawa, sekaligus memecah Kesultanan Mataram menjadi dua bagian yang berdaulat secara terbatas.
Referensi
Ricklefs, M.C. 2004. Sejarah Indonesia Modern 1200–2004. Jakarta: Penerbit Serambi.
Artikel Historia: Perjanjian Giyanti Membelah Mataram
Artikel Tirto.id: Sejarah Perjanjian Giyanti: Lahirnya Kerajaan Surakarta-Yogyakarta
Penulis: Fandu Pratomo
Editor: Artaqi Bi Izza A.
Komentar
Posting Komentar