Kabar tentang Shell
Baru-baru ini tersiar kabar bahwa salah satu perusahaan bahan bakar umum, Shell, dikabarkan akan angkat kaki dari Indonesia. Dikutip dari CNBC Indonesia, perusahaan Belanda-Inggris tersebut, dalam laporannya, berencana menutup 500 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) pada 2024 dan 2025. Akan tetapi, dikutip dari tempo.co, kabar tersebut dibantah oleh Vice President Corporate Relations Shell Indonesia, Susi Hutapea yang mengatakan bahwa kabar tersebut tidak benar jika Shell disebut akan menutup seluruh SPBU. Shell sendiri secara tidak langsung bermula di Hindia Belanda, tepatnya di Kalimantan Timur pada tahun 1907.
Dermaga Royal Dutch Petroleum di Tarakan, sekitar tahun 1925 |
Dinamika Harga Minyak
Berbicara mengenai minyak, harga minyak selalu berubah-ubah dalam perjalanannya sebagai salah satu bahan bakar yang dibutuhkan oleh umat manusia, dewasa ini. Seperti yang ditulis Majalah Tempo, pada edisi April 2020, minyak dunia pada saat itu mengalami penurunan harga yang signifikan akibat Covid-19. Bahkan, harga minyak sempat mengalami minus pada minyak West Texas Intermediate di pasar berjangka New York Mercantile Exchange dengan harga minus 37$ per barel.
Sejarah Shell dan Dinamika Perminyakan di Hindia Belanda
Mengenai sejarah Shell itu sendiri, mengutip dari situs resmi Shell, sejarah singkat dari perusahaan tersebut bermula pada tahun 1833, Marcus Samuel memutuskan untuk mengekspansi bisnisnya yang berada di London. Ia adalah pengusaha kerang (Shell), demikian nama salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia tersebut mendapatkan namanya. Pada tahun 1907, Shell kemudian bergabung dengan Royal Dutch.
Menurut buku karya Purnawan Basundoro, dalam karyanya yang berjudul, Minyak Bumi dalam Dinamika Politik dan Ekonomi Indonesia 1950-1960an, awal mula perminyakan di Hindia Belanda (Indonesia) sendiri bermula pada tahun 1871 yang dilakukan oleh Jan Reerink. Ia melakukan pengeboran di Cibodas, Jawa Barat. Usahanya tersebut masih nihil, ia tidak mendapat keuntungan komersial dari keempat sumur yang ia bor. Menurut Alex Hunter dalam bukunya Industri Perminyakan Indonesia, disebutkan jika pada tahun 1871, orang-orang Belanda sudah mengeksplorasi minyak dengan cara mengebor daerah-daerah rembesan minyak dalam usaha memperoleh minyak untuk disaring menjadi minyak lampu.
Pada tahun 1883, seorang pemilik ladang tembakau, Aeilko Jans Zijlker (A.J. Zijlker), secara tidak sengaja menemukan minyak ketika ia sedang memeriksa ladang tembakaunya di dekat Langkat, Sumatera Utara. Ia menemukan lumpur hitam yang kemudian dari baunya dikenal sebagai minyak. Setelah berhasil menemukan minyak, kemudian ia mendapat sebuah konsesi mengebor di Sumatera Utara yang menghasilkan produksi komersial pada kedalaman 400 kaki.
Untuk mengakomodasi usahanya, Zijlker kemudian mendirikan perusahaan untuk mengerjakan penemuannya. Zijlker cukup beruntung karena memiliki teman yang berpengaruh di Den Haag, yang mendukungnya, sehingga ia dapat membentuk perusahaan yang menangani produksi, pengilangan, dan pemasaran pada tahun 16 Juni 1890. Kemudian, lahirlah perusahaan yang bernama Royal Dutch atau Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij (KNPM) atau Royal Dutch Company for the Working of Petroleum Wells in the Netherlands Indies yang kemudian menjadi Royal Dutch Company. Perusahaan tersebut kemudian mengambil alih konsesi Zijlker.
Selain A.J. Zijlker , banyak pengusaha-pengusaha lain yang membuka “Cekungan Sedimenter”, di Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur dan Timur Laut. Semua perusahaan tersebut berjumlah delapan belas perusahaan aktif di masa itu.
Dalam buku karya Alex Hunter, ia mengamini isi dari situs resmi Shell yang sebelumnya sudah disebutkan, perusahaan Royal Dutch (KNPM) kemudian bergabung dengan Shell Transport and Trading Company yang beroperasi di Kalimantan Timur.
Royal Dutch berjaya di Hindia Belanda dalam konteks industri perminyakan. Mereka melakukan pengeboran di dekat Surabaya pada tahun 1887 oleh Adriaan Stoop, seorang mantan pengawal Zijlker. Pada tahun 1890, ia membangun kilang minyak yang pertama di Wonokromo, salah satu daerah di Surabaya. Kemudian, ia memperluas daerah produksinya hingga ke Jawa Tengah dan pada tahun 1894, ia membangun kilang minyak yang kedua di Cepu.
Kemudian, Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) memegang kendali operasional dari kelompok Royal Dutch-Shell. Perusahaan tersebut secara tidak langsung dapat dikatakan memonopoli industri perminyakan di Hindia Belanda setidaknya hingga tahun 1911 dengan total empat puluh empat konsesi yang tersebar di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan dengan rincian, sembilan belas konsesi di Sumatera, delapan belas di Jawa, dan tujuh di Kalimantan.
Kemudian masuklah perusahaan seperti Standard Vacuum Oil pada tahun 1912, yang memperoleh konsesi atas nama Nederlandsche Koloniale Petroleum Mij, yang menandai dimulainya “persaingan” antara beberapa perusahaan yang bergerak dalam industri perminyakan di Hindia Belanda. Kemudian,pada tahun 1931, Caltex, sebuah anak perusahaan dari Standard Oil of California dan Texas Company, memperoleh konsesi-konsesi eksplorasi yang luas, atas nama Nederlandsche Pacific Petroleum Mij, di Sumatera Tengah, Jawa Barat, dan juga Lapangan Duri di Sumatera Tengah.
Selain ketiga perusahaan yang sudah disebutkan sebelumnya, terdapat pula perusahaan baru yang “bermain” di industri perminyakan di Hindia Belanda. Tepatnya pada tahun 1935, N.N.G.P.M (Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Mij) yang dibentuk untuk mengeksploitasi bagian barat Irian Jaya. 40% saham N.N.G.P.M. dimiliki oleh Royal Dutch-Shell dan 20% oleh Standard Vacuum. Perusahaan tersebut memang menemukan beberapa hal potensial terkait industri mereka, tetapi produksi tidak dimulai sampai tahun 1948.
Industri perminyakan di Indonesia mengalami “masalah” pada tahun 1942, ketika Jepang menginvasi Hindia Belanda. Belanda, yang tentunya tidak mau Jepang memanfaatkan “penemuan” mereka, menjalankan politik “bumi hangus”, yang dilaksanakan dengan cermat oleh kaum militer.
Hal tersebut menyebabkan kerusakan pada lapangan-lapangan, pipa-pipa, alat-alat pompa, dan kilang-kilang minyak dan rencana tersebut berhasil membatasi gerak Jepang dalam memproduksi minyak.
Upaya Pengambilalihan Industri Perminyakan
Ketika Indonesia meraih kemerdekaan pada tahun 1945, produksi minyak tidak serta-merta beralih ke tangan Republik Indonesia yang baru seumur jagung itu. Proses produksi masih ada yang berada di tangan perusahaan asing (Belanda), seperti contoh BPM yang masih meneruskan produksinya pada tahun 1945 di Tarakan dan 1946 di Kalimantan.
Pengambilalihan produksi minyak dimulai ketika kilang minyak yang semula berada di tangan BPM, berpindah tangan ke koperasi buruh minyak dan kemudian dikuasai oleh perusahaan negara, Permigan.
Perjalanan perminyakan di Indonesia juga tidak dapat dilepaskan dari peran tiga perusahaan awal perminyakan di Indonesia, yaitu PN. Pertamin, PN. Permina, dan PN. Permigan. Ketiga perusahaan tersebut dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Peraturan-peraturan pemerintah.
Peran Buruh Perminyakan
Pembahasan tentang industri perminyakan juga tidak bisa dilepaskan dari peran para buruh yang membanting tulang sekaligus berpeluh keringat setiap mereka bekerja. Dalam pemberitaan koran Provinciale Drentsche en Asser Courant, edisi 12 Oktober 1956, dikabarkan jika Perbum (Persatuan Buruh Minyak), yang terafiliasi dengan komunisme, cabang Tarakan menuntut penuntutan terhadap seorang warga Belanda yang, menurut sejumlah anggota Perbum, telah menghina pemerintah Indonesia.
Juga dalam tulisan koran Java Bode, edisi 20 Februari 1957, disebutkan jika “Perbum, cabang Surabaya, sektor Wonokromo, melancarkan aksi mogok selama sepuluh tahun terhadap pabrik B.P.M. di Wonokromo pada hari Senin. Aksi yang diikuti oleh 460 anggota perbum ini akibat dari tertundanya keputusan panitia penyelesaian (P4P) terkait perselisihan antara B.P.M. dan Perbum tentang pemecatan tujuh belas orang dari pabrik tersebut pada tanggal 31 Desember 1956”.
Mengenai pemogokan buruh tersebut selama sepuluh tahun, rasanya hal tersebut masih perlu diragukan kembali validitas berita tersebut, karena pemogokan buruh selama sepuluh tahun secara akal sehat kurang dapat diterima.
Dalam buku karya Purnawan Basundoro, disebutkan pula jika Dipa Nusantara Aidit (D.N. Aidit) pernah menyerukan pengambilalihan perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan, di kongres Perbum, sepenuhnya.
Menatap Masa kini dan Masa Depan
Kini, “buruh” perminyakan mungkin sudah tidak perlu meneriakkan nasionalisasi perusahaan asing, karena kondisi industri perminyakan di Indonesia sudah jauh berbeda dengan era Orde Lama. Dibandingkan dengan era lampau, kesejahteraan buruh perminyakan juga lebih sejahtera.
Dewasa ini, terdapat satu perusahaan yang bergerak di bidang SPBU yang dikendalikan oleh pemerintah, yaitu Pertamina. Kini, menurut kabar yang beredar, Shell, yang merupakan suatu perusahaan yang mengawali sepak terjangnya di Hindia Belanda (Indonesia).
Jika kabar tersebut benar-benar akan terjadi, maka hal tersebut akan menjadi kabar yang bersejarah, bagaimana tidak? Shell yang sudah bercokol di Indonesia (Hindia Belanda), kini akan mengakhiri operasionalnya di Indonesia.
Demikian, sejarah perminyakan di Indonesia atau Hindia Belanda yang sudah dimulai sejak abad ke-19. Hendaknya, industri perminyakan dikelola dengan benar dan sesuai dengan koridor-koridor keselamatan lingkungan sehingga produksi minyak tetap bisa bermanfaat, setidaknya untuk transisi kali ini ke energi terbarukan.
Daftar Pustaka
Basundoro, Purnawan. Minyak Bumi dalam Dinamika Politik dan Ekonomi Indonesia 1950-1960an. Airlangga University Press. 2017.
Hunter, Alex. Industri Perminyakan Indonesia. Badan Penerbit Indonesia Raya. 1974.
Provinciale Drentsche en Asser Courant, edisi 12 Oktober 1956.
Java Bode, edisi 20 Februari 1957.
Komentar
Posting Komentar