Bagaimana Para Prajurit Kolonial Makan?
Sepanjang sejarah, memberi makan para prajurit telah menjadi tantangan bagi semua tentara militer, dari mulai legiun Romawi hingga gerombolan Genghis Khan, sampai juga pada masa Cuirassier Napoleon. Napoleon sendiri mengatakan "pasukan berbaris dengan perutnya", makanan yang baik dan berlimpah akan mendorong kemampuan prajurit dalam berperangLalu bagaimana dengan para prajurit kolonial di Nusantara sendiri? Bagaimana mereka mengatur makanan bagi prajuritnya? Beberapa sumber kolonial mencatat mengenai makanan para penduduk Eropa serta prajurit KNIL (baik prajurit Eropa maupun lokal) di Nusantara. KNIL (Koninklijk Nederlandsch Indische Leger) adalah pasukan bersenjata dan siap perang yang segala pengadaan latihan dan unsur pendukungnya di bawah perintah Kerajaan Belanda, dan khusus dibentuk untuk berdinas di wilayah Hindia Belanda.
Seperti kita ketahui, pembentukan KNIL didasari oleh dorongan Belanda untuk terus memperluas wilayah kekuasaan kolonialnya di Hindia Belanda. Perlu diketahui juga bahwasanya KNIL ini bukan tentara atau pasukan yang masuk dalam bagian dari angkatan darat Kerajaan Belanda, akan tetapi bagian dari militer Kerajaan Belanda yang terpisah dan khusus untuk berdinas di wilayah jajahan Hindia Belanda.
Di KNIL sendiri, pengadaan, pengelolaan, dan pendistribusian makanan, pakaian, dan perlengkapan merupakan tugas Korps Dinas (Intendance) yang pada tahun 1939 hanya memiliki 17 perwira dan tidak ada satuan operasional. Perlu digaris bawahi bersama disini, diantara banyaknya persiapan dan pengadaan perang yang ada, pengadaan pasokan makanan tentara selama masa perang terjadi, menjadi satu hal urusan yang sangat vital. Selama masa damai, mess kompi KNIL menyediakan makanan yang dibeli secara lokal untuk berbagai kelompok etnis. Korps Layanan Angkatan Darat tidak memiliki transportasi sendiri, sehingga mengandalkan Layanan Transportasi (Aan‑en Afvoerdienst, AAD) dan perusahaan transportasi divisi untuk mengirimkan barang ke titik distribusi utama, untuk kemudian ditransfer ke kereta setiap unit.
Setiap unit tempur memiliki kereta pasukannya sendiri sampai ke tingkat kompi, untuk mengangkut persediaan makanan selama dua hari. Kereta pasukan terdiri dari kereta tempur (gevechtstrein, GT) dan kereta bagasi (bagagetrein, BT). Menggunakan dua kuda yang disebut gerbong “Jepang” dengan kapasitas bawaan seberat 300 kg untuk mengangkut. Kereta tempur mengikuti unit ke dalam pertempuran dan membawa staf medis, amunisi, peralatan insinyur kecil dan telepon. Pada akhir tahun 1941, kereta tempur kompi senapan di batalyon lapangan termasuk 4 gerbong amunisi.
Kereta bagasi mengangkut persediaan untuk perkemahan, jatah, peralatan insinyur besar, dan barang-barang yang berhubungan dengan administrasi. Didalamnya termasuk tiga gerobak bagasi, dua gerobak dapur lapangan (dimana makanan disiapkan) dan gerobak penyaring air; dapur dan gerobak filter juga bisa dimasukkan ke dalam kereta tempur. Sebagian pengemudinya berasal dari korps pembantu pribumi, dan baik di masa damai maupun perang, kuda dan pengemudi sipil juga sering diminta untuk ikut serta.
Pada saat Invasi Jepang tahun 1942, pasukan KNIL sering kali harus pergi bertempur tanpa perbekalan, bukan karena kekurangan pasokan makanan, tetapi karena komunikasi yang gagal dan kereta bagasi mereka yang hilang. Di masa perang, jatah makanan suatu unit militer harus didatangkan dari garis belakang, dengan pengadaan lokal sebagai 'manfaat kebetulan'. Sebelumnya pada tahun 1940, dinas militer menyiapkan strategi untuk makanan perang untuk menghadapi masa-masa perang, tulis Fadly Rahman dalam bukunya Jejak Rasa Nusantara (2016).
Dalam buku De Voeding in Nederlandsch-Indiƫ karangan C.L. van der Burg (terbitan Bussy tahun 1904) disebutkan mengenai makanan dan jumlah gizi yang diberikan kepada prajurit kolonial. Kacang panjang muda dimakan dipotong-potong sebagai sayuran, dan juga dengan nasi; tapi kacangnya juga banyak dimakan. Kacang panjang banyak ditanam di sekitar Bandung dan Minahasa, karena banyak dikonsumsi oleh tentara dan para pelaut yang ditugaskan di sana.
Para prajurit juga diberikan daging dalam ransum nya. Hidangan daging bagi para prajurit juga diawetkan dalam kaleng. Ada sebuah pabrik bernama "Magnum" di Purworejo, yang akan memasok makanan-makanan kaleng dengan kualitas yang sangat bagus, seperti dilansir dari Hindia. Bahkan telah didesak agar kaleng-kaleng tersebut untuk tentara dipasok oleh pabrik itu, untuk memberikan jaminan kepada tentara Pribumi bahwa mereka tidak akan diberikan daging yang menggunakan lemak babi untuk pengawetan. Dalam botol anda akan menemukan sosis, roti gulung, ikan asin, dan lain-lain. Tetapi kebanyakan botol juga mengandung larutan garam atau cuka.
Dikutip dari literatur lain dalam buku Batavia Awal Abad 20 oleh HCC Clockener, menceritakan kembali cerita dari seorang prajurit Belanda yang berdinas di Hindia Belanda. Hari mereka diawali dengan sarapan yang dilakukan setelah mandi pagi. Para prajurit segera bergerak ke dapur. Sarapan pagi ini terdiri dari roti, mentega, dan ikan salem kalengan, serta kopi. Menu lainnya bisa berupa roti dengan keju, sosis, ham, telur mata sapi, ikan sarden dan sejenisnya. Setelah sarapan para prajurit mendapat dua kali makanan hangat. Pertama setelah apel pagi, menu yang disajikan berupa nasi dengan sup, daging dan sambal. Prajurit yang baru tiba Hindia Belanda tentu belum mengenal sambal, dan mengira penganan itu sejenis saus yang harus dicampurkan ke dalam sup. Tidak jarang mereka merasa kepedasan.
Kemudian untuk makanan hangat kedua disajikan sore hari setelah apel dan istirahat tidur siang. Menunya berupa nasi dengan sayur kol atau sayur yang lezat serta daging giling atau daging panggang, ikan goreng, sosis kalengan, atau telur mata sapi atau telur rebus atau sejenisnya. Tentu saja tidak lupa disediakan sambal. Namun kadang-kadang disediakan juga makanan ala Eropa seperti, sup kacang kapri atau sup kacang merah. Sebagai hidangan penutupnya disediakan buah-buahan, puding, dan semacam hidangan penutup lainnya. Namun perlu digaris bawahi, kebanyakan diawal prajurit Belanda yang harus berdinas di Hindia Belanda lebih menyukai kentang karena sudah terbiasa di negerinya. Akan tetapi mau tidak mau disini mereka harus makan nasi.
Proyek sejarah lisan seringkali menggali ingatan yang menegaskan keberadaan tabu makanan dalam budaya kolonial. Memoar Marguerite Schenkhuizen, seorang wanita Eurasia yang dibesarkan sebagai orang Eropa di Hindia, menguatkan perlunya “menjaga penampilan”. Dia mengutip contoh saudara iparnya, seorang perwira angkatan laut, yang menyukai makanan jalanan tetapi tidak terlihat membeli dari penjual. Solusi ditemukan dalam bentuk kunjungan ke saudara iparnya (Schenkhuizen), yang keluarganya dengan senang hati mencicipi kelezatan pemilik kios, tetapi "hati-hati memakannya di halaman belakang, jauh dari mata orang-orang Belanda”.
Sudah pada masa Kompeni, pribumi memperkuat angkatan bersenjata Belanda sebagai pembantu. Mengikuti tradisi itu, istri dan anak-anak mereka menemani mereka kemanapun mereka pergi. Orang Eropa mengambil alih kebiasaan ini, dan, meskipun tidak setiap orang Eropa hidup dengan seorang wanita pribumi, setidaknya pada tahun 1836 haknya untuk melakukannya diakui.
Gambaran yang didapat seseorang tentang kehidupan barak di Hindia Belanda dengan demikian bukanlah gambaran masyarakat yang seluruhnya laki-laki. Sebaliknya, orang mendapatkan gambaran yang beragam, di mana perempuan dan anak-anak mendapat tempatnya. Di warung-warung kecil di dalam barak para prajurit bisa membeli makanan lezat--walaupun tentu saja semuanya menjadi sangat hidup setelah tugas sehari-hari mereka selesai. Tugas harian untuk pangkat yang lebih rendah ini adalah sebagai berikut: di pagi hari dari jam 5 hingga 11:30, mereka bertugas. Setelah itu ada waktu istirahat, yang akan digunakan untuk memperbaiki pakaian dan membersihkan senjata mereka. Buta huruf mengambil pelajaran dari pukul lima hingga enam sore. Pukul 09.30 mereka sudah berada di tempat tidur.
Penyediaan tidak ditangani di mana-mana dengan cara yang sama untuk setiap kelompok. Istri dan anak-anak tentara pribumi bisa menemaninya ke mess. Selir seorang Eropa tidak dapat melakukan hal yang sama, kecuali dia sedang bertugas di lapangan, dalam hal ini semua wanita dan anak-anak menerima jatah beras dan garam dari pemerintah. Biasanya para prajurit mendapatkan perbekalan mereka dalam bentuk barang. Ekstra, misalnya keju, dibayar dari dana kantin, yang dibangun dari kontribusi moneter oleh tentara Eropa sendiri. Di pos-pos terpencil dan di garnisun kecil, kantin disediakan hanya untuk orang non-Eropa.
Minuman dan pergundikan, menjadi pelipur lara bagi tentara yang kurang mampu tersebut. Botol persegi jenever dan wanita pribumi seperti oasis di padang pasir bagi para prajurit yang lebih rendah.
Demikianlah bahasan ringkas mengenai ransum makan tentara kolonial yang berdinas di Hindia Belanda. Kebanyakan mereka mendapatkan ransum makan yang bergizi dan memenuhi untuk kegiatan dinas militer mereka. Meskipun dalam penerapannya terkadang terkendala, entah dalam pendistribusian dan tidak jarang dari tentara yang masih perlu pembiasaan untuk makan makanan yang tersedia di Hindia Belanda, yang jelas berbeda dari kebiasaan makan di negerinya sendiri. Tetapi ransum makan idealnya akan selalu diusahakan ada dan memenuhi gizi untuk para tentara selama berdinas.
Daftar Referensi
Dirks, A. (2011). For the youth: juvenile delinquency, colonial civil society and the late colonial state in the Netherlands Indies, 1872-1942. (Doctoral dissertation, Leiden University).
Doornum, H. Van. (1935). Zakboekje voor den officier van het koninklijk Nederlandsch-Indische Leger. Bandung : Boekhandel en Drukkerij.
Locher-Scholten, E. (2000). Women and the colonial state: Essays on gender and modernity in the Netherlands Indies 1900-1942. Amsterdam University Press.
Lohnstein, M. (2018). Royal Netherlands East Indies Army 1936–42. Bloomsbury Publishing.
Schenkhuizen, Marguerite. (1993). Memoirs of an Indo Woman: Twentieth-Century Life in the East Indies and Abroad. Ohio.
Ming, H. (1983). Barracks-concubinage in the Indies, 1887-1920. Indonesia, (35), 65-94.
Nortier, J.J. (1991). De intendance van het KNIL op Java. Militaire Spectator, 160(1), 32-36.
Leeuwen, G.I. van. (1958). De Intendance in het voormalige K.N.I.L. (Logistik di bekas KNIL). A.T. Verschoor & Zoon; Culemborg.
Playfair, L. (1865). On The Nature and Composition of Food. Good words, 6, 156-164.
Reprografie F.A.P. Breemerkamp. Samensteller: W.F.P.H. Rademakers. Indonesisch Kookboek Selamat Makan. Uitgave: Koninklijke Marine. 14 editie, 22 Oktober 1999.
Ritter, W. L. (1856). De Europeaan in Nederlandsch Indie. Sythoff.
van der Burg, C. L. (1904). De Voeding in Nederlandsch-Indiƫ. Bussy.
Penulis & Editor : Artaqi Bi Izza A.
Komentar
Posting Komentar